"Heeh, dasar penjahat! Sekali waktu di pihak 'Ali, lalu di pihak Ibnu Zubeir, dan sekarang bersama Ibnul Asy'ats.. Dasar penyulut fitnah!!" celetuk Hajjaj.
"Siapa yang Amir maksud?", tanya Anas bin Malik.
"Siapa lagi selain kamu? Dasar tuli!!", bentak Hajjaj.
"Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun..." batin Anas.
Kemudian Hajjaj tersibukkan dengan urusannya dan Anas pun keluar. Maka kami membuntutinya hinga tiba di sebuah lapangan terbuka, lalu kata Anas: "Kalaulah aku tak mengkhawatirkan nasib anak-anak sepeninggalku, niscaya akan kuucapkan kepadanya kata-kata pedas yang setelah itu ia tak mungkin membiarkanku hidup..."
* * *
Itu adalah kondisi yang terjadi ketika Anas bin Malik dipanggil penguasa. Respon yang ia ambil senada dengan kondisi emosional yang terjadi pada kedua orangtuanya (Ummu Sulaim dan Abu Thalhah, ketika Ummu Sulaim dengan cara yang halus memberitahukan suaminya bahwa anaknya telah meninggal)
Kalau diperhatikan, saat dikata-katai Hajjaj, Anas juga merasa jengkel, namun memiih bersabar. Ia melampiaskannya pada waktu dan tempat lain, dengan tetap baik, tidak mengapa, manusiawi.
Cerita itu saya dapatkan dari buku Ibunda Para Ulama, mengenai ketabahan dan kematangan pemikiran Sang Ibunda Ummu Sulaim. Saat ini saya sedang mempelajari bagaimana karakter wanita pendidik di balik para Ulama besar. Pelajaran yang saya tangkap adalah, respon dan karakter orangtua (dalam hal ini ibu) sedikit banyak sangat memengaruhi anak. Selain itu, dalam melakukan sesuatu, sebagai manusia kita juga harus memikirkan keturunan-keturunan kita, generasi-generasi penerus kita. Memikirkan dengan baik, apa "warisan" yang dapat kita wariskan pada generasi setelah kita.
Mungkin status agama bisa diwariskan, tapi iman tidak. Belajar dari kisah Ibrahim, bahwa dari Ayah yang pembuat berhala, ternyata sang Anak malah menjadi orang shalih panutan umat. Kisah nabi Nuh pun mengilhamkan pada kita bahwa ayah yang shalih tak serta merta membuat anak dan istrinya beriman pada Tuhannya. Banyak pula yang lahir dalam lingkungan keluarga beragama tertentu, kemudian mencari dan berpindah keyakinan lain.
Jadi agama "mungkin diwariskan (statusnya)", tapi semenjak aqil baligh (dewasa) keputusan memilih dan mempertanggungjawabkan pilihan adalah keniscayaan setiap orang.
Pesannya adalah, carilah terus kebenaran, semoga dalam prosesnya semakin mendekatkan pada Sang Pencipta, pada apa yang Ia perintahkan.
Respon kita menentukan kualitas diri kita :)
Tetap sopan, santun, saling menghargai, dan saling mengingatkan dalam kebenaran ya! :)
Sedikit mengutip suatu ayat untuk menjadi pengingat, tanpa bermaksud mencocok-cocokkannya dengan isi tulisan.
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (Q.S 4:9)
19-20 Mei 2017
Hajah Sofyamarwa R.
#30dwc #30dwchajah #30dwcjilid6 #day4
No comments:
Post a Comment