Friday, September 22, 2017

Menelisik Peran sebagai Ibu, Istri dan Diri Sendiri – Buku 5 Tahun Pertama Pernikahan


Masih pergejolakan di tahap kedua : Pain, tentang sebuah penerimaan (bagian 5)

Jadi sampai pada tahap ini, saya merasa begitu nge-klik dengan buku ini adalah karena ada bahasan-bahasan dari penulis (teh fufu) yang sangat relevan dengan apa yang saya rasakan sebagai seorang istri dan ibu beru. Pada bagian ini, penulis mencoba berbagi mengenai perjalanannya dalam meneliti diri sendiri tentang bagaimana ia menjalani perannya sebagai ibu, istri, dan diri sendiri.

A.      Sebagai Ibu
Pesannya adalah, telisik kembali bagaimana sisi kanak-kanak kita saat dahulu, untuk bisa memperbaiki peran kita sebagai seorang ibu. Peran ibu sering membawa kita pada kondisi membanding-bandingkan diri kita dengan yang lain. Menurut beliau, efeknya hanya 2 : menjadi sombong, atau justru menjadi minder. Saya pribadi merasakan lebih banyak mindernya. Pengalaman menjadi ibu baru 2 tahun, pun masih kewalahan dengan diri sendiri. Perasaan “merasa di bawah/minder” itu justru membuat diri saya jadi sulit berkembang. Menelisik diri lebih jauh, mungkin bukan karena aturan yang terlalu mencekik (karena saya termasuk yang banyak dibebaskan), melainkan –mungkin- karena kurangnya apresiasi. Sehingga merasa diri tak punya apa-apa, rendah diri.
Apa pengaruhnya pada anak? Secara tak langsung kita mentransferkan rasa, sikap, emosi pada anak kita lewat pengasuhan kita. Maka refleksi untuk saya adalah: mengakui kapasitas diri itu bukan berarti sombong, justru bentuk syukur pada Allah atas keunikan yang Allah berikan. Saya pribadi sudah menyadari ini, dan berusaha memberikan apresiasi sekecil apapun pada anak saya.
Sedikit gambaran bagi tipe kedua, sombong. Biasanya karena haus pengakuan (tidak mendapatkannya saat kecil dahulu), dampak buruknya jadi mudah merasa stress ketika semua tidak berjalan sesuai harapan.

B.      Sebagai Istri
Dari part ini saya jadi terbayang bagaimana cara penulis mengkomunikasikan sesuatu pada pasangannya. Tentukan fokus pembelajarannya, belajar dengan cara sendiri. Tidak perlu menuntut pasangan untuk jadi seperti yang kita inginkan, atau seperti gambaran film romantic yang pernah kita lihat. Cerita kita berbeda, kita yang membuatnya bersama. Kalau buat saya ada tambahan sedikit, fokus menjalankan kewajiban, bukan menuntut hak.

C.      Sebagai Diri Sendiri
Disini saya juga merasakan bahwa penulis tahu betul bagaimana karakter dirinya. Memahami, mencintai diri, untuk bisa membersamai keluarga kita dengan cinta yang penuh. Untuk topik ini mungkin perlu saya buat artikel tersendiri ya hihi.

Penutup dalam bab ini :

Suami dan istri yang baik adalah ia yang tak menuntut pasangannya berubah seperti orang lain, melainkan menuntun pasangannya menjadi dirinya sendiri yang semakin baik setiap hari.
@fufuelmart


Bandung, 22 September 2017
Seorang perempuan yang sedang jatuh bangun belajar

Hajah Sofyamarwa R.

Pelajaran dari Iklan Property dan Buku 5 Tahun Pertama Pernikahan tentang Mindset


Sampai di halaman 49 dalam buku 5 Tahun Pertama Pernikahan, ingatan saya tetiba terasosiasi pada sebuah iklan perumahan yang ada di televisi. (Tahu kah, Mei*karta?) Menilik-nilik iklan tersebut, saya menangkap bahwa adanya perubahan mindset membuat segalanya jadi berbeda. Gadis kecil dalam iklan tersebut awalnya “memohon” untuk dibawa pergi dari tempatnya semula, karena lingkungannya tak nyaman. Namun di akhir cerita, ketika ia sudah melihat sesuatu yang lebih baik, mindsetnya kemudian berubah. Ia menjadi ingin pindah ke tempat tersebut.

Sekilas nampak sama. Hasil akhirnya mungkin terjadi sebuah perpindahan. Namun, pada kondisi pertama, ia seakan ingin “kabur” dari tempat semula, dan pergi bisa kemana saja. Bisa terarah, bisa jadi tanpa arah, asalkan pergi. Sedangkan pada kondisi kedua, ia menuju sesuatu impian yang ingin dicapai. Ia tahu kondisi lamanya memang tak baik, tapi itu bisa terobati dengan adanya impian yang jelas, pindah ke tempat yang lebih baik. Lebih terarah, dan mungkin hanya sedikit saja meninggalkan luka.

Kembali pada buku yang saya baca ini, saya kembali diingatkan mengenai Niat dalam Pernikahan. Bab yang seharusnya sudah 2 tahun lalu khatam bagi saya, dan mungkin belasan atau puluhan tahun bagi orang lain. Dikisahkan ada seseorang yang sudah menjadi istri dan memiliki anak, dan ketika ada permasalahan rumah tangga ada hasrat terbersit untuk pulang ke Rumah. Rumah yang mana? Rumah orangtua. Padahal dulu sekali sebelum menikah, berpikir ingin segera menikah karena kondisi rumahnya tak nyaman. Entah adanya pertengkaran, atau hal lain. Lantas kenapa ingin pulang ke rumah, padahal saat ini ia juga sedang berumah tangga?

Saya kemudian merefleksi kembali apa niat saya menikah. Ini penting karena sayapun juga mengalami masa-masa dimana saya begitu malas sekali mengatur rumah atau menghadapi gemericik konflik di rumah tangga. Mungkin saya bukan seperti contoh di atas, tantangan saya adalah untuk lebih bisa memvisualisasikan pola pernikahan yang pernah saya idamkan, berjuang mengkomunikasikannya, dan bersabar menjalaninya. Karena tentu dalam setiap pernikahan ada perbedaan-perbedaan antara ekspektasi dan realita, bagaimana pengaturannya lah yang harus terus dipelajari.

Alhamdulillah.
Mari ikhlaskan semua takdir yang telah Allah gariskan. Terima, syukuri dan berlari menuju keindahan hakiki. Bukan untuk siapa-siapa, kecuali lillah.

Bandung, 22 September 2017
Seorang perempuan yang sedang jatuh bangun belajar
Hajah Sofyamarwa R.



Friday, September 8, 2017

Kangen Nulis

Bergabung dengan 30DWC membawaku pada hal hal menakjubkan. Baru tiga jilid saja, 3 bulan tapi cukup membuka pikiranku mngenai dunia tulis menulis. Tak lantas membuatku jadi penulis hebat, tentunya. Masih sekedar memberi pupuk dan air bagi salah satu kesukaanku.

Aku rehat dulu di jilid 8, tak ikut. Alasan utamanya ingin menimba ilmu dulu karena merasa kering bila harus terus menulis tanpa menyempatkan waktu barang sejenak untuk mengisi teko.

Dan selama periode rehat ini, ternyata aku betul betul rehat. Hehe. Sekedar posting foto-foto di instagram, dengan caption yang seadanya. Kangen juga. Kangen mendengar curhatan diri sendiri. Hehe.

Selama masa ini, aku lebih fokus berjualan, ngiklan, kontak customer, packing, perdana jaga stand pameran juga. Qadarullah, beberapa hari juga harus menemani haidar yang masuk RS karena demamnya yang tinggi akibat infeksi bakteri.

Nostalgia ini, sedikit banyak terdorong dari melihat postingan kawan kawan yang ikut 30DWC jilid 8. Ada teteh sepupu yang psikolog yang ikutan, makin produktif menulisnya, makin viral tulisannya. Ada juga yang tadinya cuma sendiri, sekarang berhasil mengajak suaminya untuk ikut dan mereka soswit banget hahaha, rajin ikut sayembara, lolos dan jadi buku antologi. Terharuu :"))) pengen banget mensyen orangnya ini haha. Ada juga kaka kelas pas SMA yang juga jadi semangat lagi nulisnya. Ikut seneng :)

Belum lagi kawan kawan dari komunitas ODOPfor99days juga udah menelurkan buku antologinya. Masyaallah hebat hebat!

Alhamdulillah.
Apapun yang terjadi, nikmati prosesnya, dan yang penting terus bersyukur.

Yak mari mulai menulis lagii :D

Jumat, 8 September 2017
22:23
Hajah Sofyamarwa R.