Monday, March 31, 2014

passion ?



Dinamika Persepsi Hajah Mengenai passion sejak tahun kedua kuliah, hingga 5 bulan setelah Lulus kuliah.

*asa kaya bikin judul skripsi* 
Dalam tulisan ini, saya mengungkapkan momen momen yanag saat itu saya rasa sangat memengaruhi persepsi saya mengenai passion. Bagi saya dinamika ini penting, karena sampai saat ini saya masih mencari kepingan-kepingan makna *halah* dan ingin menyusunnya suatu saat nanti. Tulisan ini membuktikan bahwa kita memang terus berproses, pikiran kita selalu aktif menginstall update-an makna, memperbarui, mengubah yang kurang sesuai, menambah yang lebih sesuai. Semoga ada manfaatnya :)

* * * * * 

1. Awal mula perkenalan saya dengan kata ‘passion’ dimulai saat saya di tingkat 2 (2010). Saat itu saya ikut sebuah seminar bertajuk entrepreneur (IEC) dan pastinya lagi semangat-semangatnya. Tau videoklip Lentera Jiwa-nya Nugie? Itu dia! Bagi siapapun orang yang merasakan perasaan yang sama dengan saya di kala itu, pas nonton klip itu pasti seneng terharu dan ngrasa dapet jawaban. Ya, mungkin kala itu saya mulai mendeteksi bahwa rasanya saya –popular disebut- salah jurusan (tentang ini akan dibahas di lain waktu). Saking terharu dan senengnya, secara sadar-atau ngga, itu memengaruhi mindset saya dan otomatis pada cara saya menjalankan perkuliahan. Ngerasa salah jurusan-lah, ngerasa passionnya bukan disini-lah, dll. Dan saya terus berjibaku dengan pencarian passion, yang mungkin saat itu juga belum jelas apa. Namanya juga mahasiswa, saatnya mencoba segalanya hehe J

2. Galau setelah lulus kuliah.
Kata orang, euphoria wisuda itu hanya 2 hari dan setelah itu akan berada dalam kondisi bingung. Haha. Kalau saya ngga bingung, biasa aja. Bukan karena udah dapet kerjaan atau keterima S2, tapi karena saat itu saya masih “ngelamun” dan belum sadar dengan realita yang menghadang! Hehe. (mungkin ini juga akan dibahas di lain waktu).  Nyari yang sesuai passion. (masih) ngerasa salah jurusan >> ngga bisa move on. Saat itu saya ngga geje sih, terus bergerak, banyak ikut kajian-kajian, macem-macem aktivitas, jobfair juga, dll. Tapi ya itu, Bergerak ke segala penjuru arah seolah tanpa ada tujuan jelas. Saat ini orang lain yang liat kamu mungkin akan mikir “maneh nanaonan sih, mikiran naon” hehe

3. Your Job is Not Your Career
Sampai akhirnya saya sadar bahwa saya harus bekerja. Saya merasa masih minim wawasan tentang dunia karir dan kerja, saya ke togamas dan beli buku Your Job is Not Your Career nya bang Rene Suhandono. Baca buku ini juga terharu banget :’) *maksudnya seneng karena dapet pemaknaan baru tentang passion, kerjaan, dan karir* Ringkasnya yang kutangkep, passion itu sesuatu yang emang kamu banget –karena kamu itu orang special yang limited edition--. Passion itu sesuatu yang ketika kamu ada di jalan yang tepat, kamu akan super optimal, melakukan semua dengan baik dan bahagia.

4. Pasca lulus kuliah, mulai sadar, memutuskan mulai akan bekerja
Saya bukannya belum nemu passionnya apa, simple kubilang passion itu sesuatu yang kamu suka ngelakuinnya, dalam kondisi kritis pun akan dengan senang hati dilakukan. Saya udah mulai bisa mendeteksi apa-apa yang saya sukai dan mulai sedikit demi sedikit ngenalin diri sendiri (desain, baca, nulis, jurnalis, psikologi, human, marketing, dll) Saya hanya merasa belum pantas untuk bilang : ini passion saya. Karena rasanya masih banyak hal yang belum tereksplor. Saya hanya ngga mau membatasi.
Sampai pada kesimpulan : Ya, Allah pasti menciptakan kita sangat unik, dan PASTI ada tujuan/misi tertentu. Dengan kita nemuin passion kita, Alhamdulillah kita bisa lebih fokus dan optimal dengan apa-apa yang akan kita kerjakan. TAPI, kalau sudah mencari dan belum nemu terus, bergerak dan pilih saja sesuatu, jalani. Kita ngga akan ditanya Allah di hari akhir nanti “passion kamu apa?” intinya tetap terus mencari, niatkan karena Allah, syukuri segala potensi yang ada dengan memaksimalkan penggunaannya, yang penting bermanfaat untuk kita dan untuk orang banyak.

5. Lihat adik kelas SMA yang bingung banget dan panik karena belum nemu passionnya apa.  Terlebih lagi mau ujian dan harus menentukan jurusan.
Saranku saat itu : usahakan dulu deteksi apa yang benar-benar sudah tergambar di pikiran, di masa depan akan seperti apa. Mulai saja dari yang disukai. Kalau masih ngga tau, yasudah, toh akan terungkap seiring berjalannya waktu dan pengalaman. Pola pikir masih sama dengan poin 4, ya, yang penting bisa bermanfaat. (karena kupikir tetap bisa berjalan parallel, #lupa passion)

6. Mulai bekerja (kurang lebih 1,5 bulan di jan-feb)
Menjalankan mindset “yang penting bermanfaat” dan bisa saya lakukan, walaupun rasa-rasanya passionnya bukan disana. Hati kecil ngga bisa bohong, lama-lama ketidakcocokan antara yang dilakukan dengan passion pribadi menimbulkan pergejolakan batin *halah*
Saat ini saya mulai temukan makna passion yang baru. Ketika hati dan jiwa kamu ngga disana, kamu mungkin terlihat membantu tempat kerja kamu, tapi senyatanya ngga. Kecocokan dengan passion membuat segala yang kamu lakukan jadi berenergi. Kamu akan rela seluruh sumber daya tenaga, waktumu untuk tercurah kesana. Kalau bukan passionnya? Sangat mungkin untuk tidak bekerja secara optimal. Dilihat dari kacamata kamupun, jiwa kamu meraung. #mulai lirik passion lagi

7. Cult of Passion
Baru nemu anti-thesisnya dari follow your passion, dan saya mulai merasa dapat gambaran yang utuh. Membaca sebuah artikel yang kurang lebih tentang pembahasan cult of passion, ya, mengkultuskan passion. Seru deh artikel-artikelnya. Mungkin sebelum ini aku termasuk yang seperti ini, terlalu berlebihan menyikapi passion.
Tahap ini saya mulai berupaya menyeimbangkan pandangan saya tentang passion.

8. Seminar tentang Bakat dan minat temubakat.com
Test nya sudah lama saya coba (gratis di internet), namun kesempatan medapat penjelasannya baru di dapat ketika pengajian butterfly (sekilas) dan saat acara PPSDMS *leadershiptalk yang langsung dipresentasikan oleh abah rama (founder). Bahasan lengkap mungkin di lain waktu, intinya : mengetahui fitur unik dengan menggali diri itu sebuah keniscayaan. Tugas kita adalah beribadah dan menjadi khalifah di muka bumi, dan member manfaat seluas-luasnya. Maksimalnya kebermanfaatan kita adalah ketika kita tahu banyak tentang diri kita, fitur unik kita. Karena setiap perancang pasti punya tujuan penciptaan. Cara sukses bisa sama, tapi JALAN sukses tiap orang pasti beda. JALAN itulah yang kini kumaknai dengan passion. Dengan berusaha menggali diri, kita juga sedang mensyukuri dan memaksimalkan apa yang Allah kasih ke kita.

9. Mulai Mengajar di Sekolah Alam
Keputusan saya untuk berada di sini insyaallah salah satu upaya untuk berjalan di jalan yang benar. Sejauh ini, sebegai manusia merdeka, ini pilihan saya. Waktu terus berjalan, perubahan adalah keniscayaan, dan tidak ada yang tahu akan seperti apa kita di masa depan. Semoga dapat bermanfaat sebaik-baiknya dengan apa-apa yang sudah Allah berikan.
passion keyword : #human #creative #teach #education #psychology 

* * * * * 

Bicara passion sebenernya bicara tentang sejauh mana kamu berusaha kenal dan bereksplorasi dengan diri kamu. Kamu harus sudah mencoba banyak hal dulu untuk bisa menentukan hal mana yang paling kamu suka dan hal mana yang ngga kamu suka.

Yakin Allah pasti nyiptain kita untuk suatu misi. Tugas akhir kita bukan untuk menemukan passion kita untuk menjalani hidup. Passion menjadi jalan, menjadi tools. Tugas kita itu beribadah sama Allah dengan maksimal. Sesuatu akan lebih maksimal bila kita tahu segala potensi yang kita miliki.

Sampai di sini saya mulai mencoba untuk proporsional dalam memandang hal ini. Saya yakin, walaupun entah kapan, saya akan mendapatkan makna terbaik mengenai passion dan kehidupan.


“Yang paling sulit dilakukan adalah menemukan diri sendiri..”

Kamar,
Ditulis sejak 16 Maret 2014 dan selesai pada 31 Maret 2014
Dan pencarian belum berakhir :D

Wednesday, March 26, 2014

bioskop dan kartu pelajar


yeah it's true!

ini memang kisah yang agak memalukan, tapi ngga pernah hilang dari memori saya. ckckck ._.
film itu menurutku bagus, *agak lupa* tapi memang tetap ada konten yang bukan untuk anak-anak.
jadi mbak-mbaknya bagus, menjaga dan melindungi anak-anak.

hihi. makasih ya mbak :D


Monday, March 17, 2014

Mengubah Orang Lain : Tentang Persepsi



Persepsi kita terhadap orang lain akan sangat memengaruhi sikap dan perilaku kita pada orang tersebut. Dalam konteks pendidikan/pembinaan, maka akan sangat memengaruhi cara kita membangun komunikasi dan tentu saja berpengaruh pada hasilnya. Sebut saja saya sempat menemukan sebuah kasus, yang kemudian solusinya saya coba cari. Susah. Hehe. Ini terkait posting saya yang sebelumnya “Mengubah Orang Lain?”, ya, ini terkait usaha­­-usaha kita dalam mengubah orang lain.

Mungkin kalian pernah menemukan kasus ini, saat kita berupaya mengubah orang lain akan sifat, sikap atau pengaruh buruknya. Segala jurus sudah dilancarkan, niat juga kayanya sudah bener *saat itu*, tapi hasilnya ngga sesuai dengan yang diharapkan.

Ini saya dapatkan dari bukunya mas Stephen Covey yang judulnya The Seven Habits of Highly Effective People. DIketik ulang dengan berbagai perubahan yang tidak mengubah makna. Kisah yang akan saya ceritakan adalah pengalaman pribadi mas Covey *so akrab* dan istrinya (mbak Sandra) menghadapi anaknya. Saya pikir itu salah satu inspirasi dan alasan kuat  mengapa buku beliau itu bisa hadir, masalah paradigma.
* * * * *

Kisah Covey, Sandra, dan Persepsi Tentang Anak Mereka
Covey dan Sandra punya seorang anak yang saat itu mengalami masa-masa buruk di kehidupannya. Prestasi buruk, tidak bisa mengerjakan ujian dengan baik, dan bahkan sulit mengerti instruksi dalam ujian. Secara sosial belum matang dan suka mempermalukan orang disekitarnya. Perawakannya kurus kecil, tidak terkordinasi, dan permainan baseball nya cukup buruk untuk ditertawakan teman-teman lainnya.

Beruntung sang anak punya orangtua yang memahaminya. Covey dan Sandra istilahnya kerjasama untuk memperbaiki sikap dan perilaku mereka pada sang anak. Mereka kompak untuk bersikap positif dan memberinya kata-kata positif, semangat, dukungan, dan pujian. Mereka juga melindungi anaknya ketika sang anak ditertawakan saat main baseball, “Jangan ganggu dia, ia baru belajar”. Sang anak akan menangis dan berkeras bahwa dia tidak bisa melakukannya dan bahwa sebenarnya sang anak memang tidak suka.

Secara kasat mata, bukankah memang itu sikap yang seharusnya sebagai orang tua? Ya, tapi nyatanya semua yang mereka lakukan tidak membantu. Ada apa? Akhirnya mereka menarik diri dan melihat situasinya dari level yang berbeda.

Saat itu Covey sedang memegang projek pengembangan eksekutif IBM, dan tertarik pada “bagaimana persepsi terbentuk, bagaimana persepsi mengatur cara kita memandang, dan bagaimana cara kita memandang akan mengatur bagaimana kita berperilaku.” (persepsi à cara memandang à perilaku). Saya dapat ilmu dari covey, bahwa kita harus melihat pada lensa yang kita gunakan untuk melihat dunia, pada dunia itu sendiri, dan bahwa lensa itu sendiri membentuk cara kita menafsirkan dunia.

Di tengah projek profesionalnya dan permasalahan ttg anaknya itu, Covey dan Sandra mulai menyadari satu hal, ini kutipannya :

“bahwa apa yang kami kerjakan untuk membantu anak kami tidak selaras dengan cara kami memandangnya. Ketika kami secara jujur memeriksa perasaan kami yang paling dalam, kami sadar bahwa persepsi kami adalah ia memang tidak cakap, agak ‘terbelakang’. Lepas dari betapa besar usaha kami memperbaiki sikap dan perilaku kami, usaha tersebut tidak efektif karena, walaupun kami sudah bertindak dan memberikan dorongan dengan kata-kata, apa yang kami komunikasikan kepadanya adalah : ‘kau memang tidak mampu. Kau harus dilindungi’.
Kami mulai sadar bahwa jika kami ingin mengubah situasinya, kami harus lebih dahulu mengubah diri kami. Dan untuk mengubah diri kami secara efektif, kami lebih dahulu harus mengubah persepsi kami.”
(Stephen R. Covey - The Seven Habits of Highly Effective People)
* * * *

Apa yang bisa saya pelajari dari hal tersebut?
Saya belajar untuk mengecek ulang persepsi saya terhadap orang tersebut. Bisa jadi awalnya niat saya benar dan sayapun melakukan hal-hal positif untuk perbaikannya. Tapi sinyal yang dipancarkan hati akan sampai ke hati. Mungkin tertanam dalam alam bawah sadar saya bahwa ‘ia memang begitu dan sudah tidak bisa diapa-apakan lagi’. Maka segala sikap positif yang saya berikan tidak akan berhasil. Persepsi kita tentang orang tersebut akan terkomunikasikan melalui sikap kita.
Apakah saya udah punya niat yang bener? Apakah cara saya udah bener? Apakah persepsi saya ke dia udah bener?
* * * *
Masalahnya belum selesai, saya sendiri masih berproses untuk punya persepsi yang baik dan benar. Semoga kita dianugerahkan lensa terbaik untuk memandang apapun dunia kita, dan penafsiran terbaik dalam memandang kehidupan kita.

Kamar,
Ahad, 16 Maret 2014

Tuesday, March 11, 2014

Fenomena Whatsapp : Serbet (Serangan Alfabet) --Setiap Harinya



Setiap harinya peradaban manusia berhasil menemukan hal baru. Teknologi semakin canggih, tren selalu berputar, semua orang semakin membutuhkan kepraktisan.

Masih ingat postingan saya tentang HP Android dari kakak saya? Hihi, anggap saja ini lanjutannya :)

2014 ini sudah jamannya gadget layar sentuh dengan OS android. Saya sih gaptekan orangnya, pemakai aja. Yang jelas saat ini kebanyakan orang udah pake android, dan di Indonesia (minimal di lingkungan sekitar saya) kami menggunakan whatsapp untuk berkomunikasi.

Menurut saya whatsapp ini memang fitur yang enak dipakai karena murah (pakai tarif data aja), tinggal daftar pakai nomer handphone, dan bisa bikin chatgroup. Konon, Whatsapp ini pertumbuhan pertahunnya cepet banget (googling gih hehe), sampe abang Mark pencetus facebook juga ngebeli whatsapp (dia liat potensinya kali ya). Saya kurang tahu gimana perkembangan whatsapp di dunia, tapi fyi saya sempat Tanya sama temen-temen korea waktu itu, mereka ngga pada pake whatsapp. Saya bilang di Indonesia aplikasi yang sering dipakai itu Whatsapp dan line, sedangkan saat ini mereka pakai kakaotalk (produksi Korea sendiri).

Sebelum pakai whatsapp rasanya dunia saya juga terbelakang banget (lebay) karena ngga ikutan chatgroup, jadi nggatau apdet terkini. Setelah pakai whatsapp, awal-awal seneng karena murah dan bisa terus nge-link sama temen-temen. AKhir-akhir ini, pernah ngerasain pusing sendiri gara-gara banyak notif whatsapp di chatgroup. Hehe, memang yang berlebihan itu selalu kurang baik yaa..

Saya kemudian terpikir kata-kata apa yang pantas menggambarkan apa yang saya rasakan saat ini. Karena online setiap saat, setiap harinya dengan rentetan pembicaraan dari puluhan grup yang kita ikuti, kusebut ini serbet, serangan alphabet! Hihi Saya sebut serangan karena memang terasa seperti itu *hihi berasa lagi perang* Terkadang pembicaraan di grup juga tidak semuanya penting untuk dibaca, atau penting untuk diketahui, atau ditujukan secara khusus untuk kita. Saya sendiri termasuk orang yang sering khilaf nge junk di grup (maaf yaa -_-). Tapi skrg saya sadar kok, saling ngingetin aja. btw, grup facebook juga udah kalah saing (dari lama kayanya). Kalau dipikir-pikir, berapa coba waktu yang harus dihabiskan untuk membaca setiap notif yang masuk ke whatsapp kita. Semoga dengan adanya whatsapp ini tetap membuat kita menjadi lebih produktif, lebih pintar memanfaatkannya. Semakin menjaga keberkahan waktu-waktu kita.. >,<

Kortim salman, 11 Maret 2014 
banyak sekali yang ingin disampaikaaan. sabar sabar.. :D

Percaya Diri ?



Saya pernah agak heran dengan orang yang tidak berani untuk tampil ke depan. Padahal bagi kebanyakan orang, hal yang paling ditakutkan adalah berbicara di depan khalayak umum, apapun bentuknya. Saya sendiri sebetulnya sama sekali bukan public speaker yang baik, sayapun bukan orang yang selalu mengajukan diri untuk bisa tampil di depan. Namun yang saya ingat adalah bahwa saya suka dan menikmati saat saya memberanikan diri saya berinisiatif  untuk mengacungkan tangan, berada di depan, dan mengutarakan pendapat dan apa-apa yang ada di pikiran saya dengan bebas.

Dari sebuah test kecil-kecilan di internet, saya adalah tipe ESFP (Extraverted, Sensing, Feeling dan Perceiving) – the performer, yang secara alami menyukai bila menjadi pusat perhatian. Dari test lainnya, saya seorang tipe Sanguine-Pleghmatis, yang sedikit banyak juga menyukai bila menjadi pusat perhatian. Makanya saya sering takut, karena potensi untuk beramal-karena-makhluk menjadi lebih besar, dan sangat sulit dirasakan.

Sebelum ini saya pikir, berani berbicara di depan umum itu menunjukkan bahwa saya PD (Percaya Diri). Sampai pada suatu titik, saya menyadari bahwa definisi Percaya Diri tidak sesempit itu—tentu saja.
Pemaknaan saya akan “PD” menjadi  lebih jelas ketika pada titik tersebut, saya merasa bahwa sebenarnya saya sangat tidak percaya diri. Saat itu saya merasa tidak punya sesuatu apapun untuk dibanggakan, tidak berguna, dan tidak mampu. Saya tidak merasakan adanya sesuatu yang bisa dibanggakan dari diri, setelah itu saya cenderung lebih banyak diam dan mengamati.

Percaya diri adalah percaya pada diri kita pribadi. Tahu, kenal dan paham tentang hakikat diri sebagai makhluk bertuhan, serta melalui proses internal yang mendalam. Sesuatu yang sifatnya ke dalam, yang menguatkan kita dari apapun yang terjadi di luar. 

* * *
Apa yang ada di dalam diri kita saat ini adalah hasil dari proses panjang dengan banyak faktor pengaruh. Keturunan, pola asuh, lingkungan. Tidak semua bisa kita ubah, yang bisa kita lakukan adalah mengubah cara pandang kita. Yakini bahwa seburuk apapun diri kita (menurut kita), yang Menciptakan kita PASTI lebih  tau, dan sangat tidak mungkin menciptakan sesuatu yang sia-sia.   

manusia berproses,
baru diketik di Kamar, 8 Maret 2014