Persepsi kita terhadap orang lain
akan sangat memengaruhi sikap dan perilaku kita pada orang tersebut. Dalam
konteks pendidikan/pembinaan, maka akan sangat memengaruhi cara kita membangun
komunikasi dan tentu saja berpengaruh pada hasilnya. Sebut saja saya sempat
menemukan sebuah kasus, yang kemudian solusinya saya coba cari. Susah. Hehe.
Ini terkait posting saya yang sebelumnya “Mengubah Orang Lain?”, ya, ini
terkait usaha-usaha kita dalam mengubah orang lain.
Mungkin kalian pernah menemukan
kasus ini, saat kita berupaya mengubah orang lain akan sifat, sikap atau
pengaruh buruknya. Segala jurus sudah dilancarkan, niat juga kayanya sudah
bener *saat itu*, tapi hasilnya ngga sesuai dengan yang diharapkan.
Ini saya dapatkan dari bukunya
mas Stephen Covey yang judulnya The Seven Habits of Highly Effective People.
DIketik ulang dengan berbagai perubahan yang tidak mengubah makna. Kisah yang
akan saya ceritakan adalah pengalaman pribadi mas Covey *so akrab* dan istrinya
(mbak Sandra) menghadapi anaknya. Saya pikir itu salah satu inspirasi dan
alasan kuat mengapa buku beliau itu bisa
hadir, masalah paradigma.
* * * * *
Kisah Covey, Sandra, dan Persepsi Tentang Anak Mereka
Covey dan Sandra punya seorang
anak yang saat itu mengalami masa-masa buruk di kehidupannya. Prestasi buruk,
tidak bisa mengerjakan ujian dengan baik, dan bahkan sulit mengerti instruksi
dalam ujian. Secara sosial belum matang dan suka mempermalukan orang
disekitarnya. Perawakannya kurus kecil, tidak terkordinasi, dan permainan
baseball nya cukup buruk untuk ditertawakan teman-teman lainnya.
Beruntung sang anak punya
orangtua yang memahaminya. Covey dan Sandra istilahnya kerjasama untuk memperbaiki sikap dan perilaku mereka
pada sang anak. Mereka kompak untuk bersikap positif dan memberinya kata-kata
positif, semangat, dukungan, dan pujian. Mereka juga melindungi anaknya ketika
sang anak ditertawakan saat main baseball, “Jangan ganggu dia, ia baru
belajar”. Sang anak akan menangis dan berkeras bahwa dia tidak bisa
melakukannya dan bahwa sebenarnya sang anak memang tidak suka.
Secara kasat mata, bukankah
memang itu sikap yang seharusnya sebagai orang tua? Ya, tapi nyatanya semua yang mereka lakukan tidak membantu. Ada apa?
Akhirnya mereka menarik diri dan melihat situasinya dari level yang berbeda.
Saat itu Covey sedang memegang
projek pengembangan eksekutif IBM, dan tertarik pada “bagaimana persepsi
terbentuk, bagaimana persepsi mengatur cara kita memandang, dan bagaimana cara
kita memandang akan mengatur bagaimana kita berperilaku.” (persepsi à cara memandang à perilaku). Saya dapat
ilmu dari covey, bahwa kita harus melihat pada lensa yang kita gunakan untuk melihat dunia, pada dunia itu sendiri, dan bahwa lensa itu
sendiri membentuk cara kita menafsirkan
dunia.
Di tengah projek profesionalnya dan
permasalahan ttg anaknya itu, Covey dan Sandra mulai menyadari satu hal, ini
kutipannya :
“bahwa apa yang kami kerjakan untuk membantu anak kami tidak selaras dengan cara kami memandangnya.
Ketika kami secara jujur memeriksa perasaan kami yang paling dalam, kami sadar bahwa persepsi kami adalah
ia memang tidak cakap, agak ‘terbelakang’. Lepas dari betapa besar usaha kami
memperbaiki sikap dan perilaku kami, usaha tersebut tidak efektif karena, walaupun kami sudah bertindak dan
memberikan dorongan dengan kata-kata, apa yang kami komunikasikan kepadanya
adalah : ‘kau memang tidak mampu. Kau harus dilindungi’.
Kami mulai sadar bahwa jika kami ingin mengubah situasinya, kami harus lebih dahulu mengubah diri kami.
Dan untuk mengubah diri kami secara efektif, kami lebih dahulu harus mengubah persepsi kami.”
(Stephen R. Covey - The Seven Habits of Highly Effective People)
* * * *
Apa yang bisa saya pelajari dari hal tersebut?
Saya belajar untuk mengecek ulang
persepsi saya terhadap orang tersebut. Bisa jadi awalnya niat saya benar dan
sayapun melakukan hal-hal positif untuk perbaikannya. Tapi sinyal yang
dipancarkan hati akan sampai ke hati. Mungkin tertanam dalam alam bawah sadar
saya bahwa ‘ia memang begitu dan sudah tidak bisa diapa-apakan lagi’. Maka
segala sikap positif yang saya berikan tidak akan berhasil. Persepsi kita
tentang orang tersebut akan terkomunikasikan melalui sikap kita.
Apakah saya udah punya niat yang bener? Apakah cara saya udah bener?
Apakah persepsi saya ke dia udah bener?
* * * *
Masalahnya belum selesai, saya
sendiri masih berproses untuk punya persepsi yang baik dan benar. Semoga kita
dianugerahkan lensa terbaik untuk memandang apapun dunia kita, dan penafsiran
terbaik dalam memandang kehidupan kita.
Kamar,
Ahad, 16 Maret 2014
No comments:
Post a Comment