Sampai di halaman 49 dalam buku 5
Tahun Pertama Pernikahan, ingatan saya tetiba terasosiasi pada sebuah iklan
perumahan yang ada di televisi. (Tahu kah, Mei*karta?) Menilik-nilik iklan tersebut, saya menangkap
bahwa adanya perubahan mindset
membuat segalanya jadi berbeda. Gadis kecil dalam iklan tersebut awalnya “memohon”
untuk dibawa pergi dari tempatnya
semula, karena lingkungannya tak nyaman. Namun di akhir cerita, ketika ia sudah
melihat sesuatu yang lebih baik, mindsetnya kemudian berubah. Ia menjadi ingin pindah ke tempat tersebut.
Sekilas nampak sama. Hasil
akhirnya mungkin terjadi sebuah perpindahan. Namun, pada kondisi pertama, ia
seakan ingin “kabur” dari tempat semula, dan pergi bisa kemana saja. Bisa
terarah, bisa jadi tanpa arah, asalkan pergi. Sedangkan pada kondisi kedua, ia
menuju sesuatu impian yang ingin dicapai. Ia tahu kondisi lamanya memang tak
baik, tapi itu bisa terobati dengan adanya impian yang jelas, pindah ke tempat
yang lebih baik. Lebih terarah, dan mungkin hanya sedikit saja meninggalkan
luka.
Kembali pada buku yang saya baca ini,
saya kembali diingatkan mengenai Niat dalam Pernikahan. Bab yang seharusnya sudah
2 tahun lalu khatam bagi saya, dan mungkin belasan atau puluhan tahun bagi
orang lain. Dikisahkan ada seseorang yang sudah menjadi istri dan memiliki
anak, dan ketika ada permasalahan rumah tangga ada hasrat terbersit untuk
pulang ke Rumah. Rumah yang mana? Rumah orangtua. Padahal dulu sekali sebelum
menikah, berpikir ingin segera menikah karena kondisi rumahnya tak nyaman. Entah
adanya pertengkaran, atau hal lain. Lantas kenapa ingin pulang ke rumah,
padahal saat ini ia juga sedang berumah tangga?
Saya kemudian merefleksi kembali
apa niat saya menikah. Ini penting karena sayapun juga mengalami masa-masa
dimana saya begitu malas sekali mengatur rumah atau menghadapi gemericik konflik
di rumah tangga. Mungkin saya bukan seperti contoh di atas, tantangan saya
adalah untuk lebih bisa memvisualisasikan pola pernikahan yang pernah saya
idamkan, berjuang mengkomunikasikannya, dan bersabar menjalaninya. Karena tentu
dalam setiap pernikahan ada perbedaan-perbedaan antara ekspektasi dan realita,
bagaimana pengaturannya lah yang harus terus dipelajari.
Alhamdulillah.
Mari ikhlaskan semua takdir yang
telah Allah gariskan. Terima, syukuri dan berlari menuju keindahan hakiki. Bukan
untuk siapa-siapa, kecuali lillah.
Bandung, 22 September 2017
Seorang perempuan yang sedang jatuh bangun belajar
Hajah Sofyamarwa R.
No comments:
Post a Comment