Masih pergejolakan di tahap kedua : Pain, tentang sebuah penerimaan
(bagian 5)
Jadi sampai pada tahap ini, saya
merasa begitu nge-klik dengan buku ini adalah karena ada bahasan-bahasan dari
penulis (teh fufu) yang sangat relevan dengan apa yang saya rasakan sebagai
seorang istri dan ibu beru. Pada bagian ini, penulis mencoba berbagi
mengenai perjalanannya dalam meneliti diri sendiri tentang bagaimana ia
menjalani perannya sebagai ibu, istri, dan diri sendiri.
A. Sebagai Ibu
Pesannya adalah, telisik kembali bagaimana
sisi kanak-kanak kita saat dahulu,
untuk bisa memperbaiki peran kita sebagai seorang ibu. Peran ibu sering membawa
kita pada kondisi membanding-bandingkan diri kita dengan yang lain. Menurut beliau,
efeknya hanya 2 : menjadi sombong, atau justru menjadi minder. Saya pribadi
merasakan lebih banyak mindernya. Pengalaman menjadi ibu baru 2 tahun, pun
masih kewalahan dengan diri sendiri. Perasaan “merasa di bawah/minder” itu
justru membuat diri saya jadi sulit berkembang. Menelisik diri lebih jauh, mungkin
bukan karena aturan yang terlalu mencekik (karena saya termasuk yang banyak
dibebaskan), melainkan –mungkin- karena kurangnya apresiasi. Sehingga merasa
diri tak punya apa-apa, rendah diri.
Apa pengaruhnya pada anak? Secara
tak langsung kita mentransferkan rasa, sikap, emosi pada anak kita lewat
pengasuhan kita. Maka refleksi untuk saya adalah: mengakui kapasitas diri itu
bukan berarti sombong, justru bentuk syukur pada Allah atas keunikan yang Allah
berikan. Saya pribadi sudah menyadari ini, dan berusaha memberikan apresiasi
sekecil apapun pada anak saya.
Sedikit gambaran bagi tipe kedua,
sombong. Biasanya karena haus pengakuan (tidak mendapatkannya saat kecil
dahulu), dampak buruknya jadi mudah merasa stress ketika semua tidak berjalan
sesuai harapan.
B. Sebagai Istri
Dari part ini saya jadi terbayang bagaimana cara penulis
mengkomunikasikan sesuatu pada pasangannya. Tentukan fokus pembelajarannya,
belajar dengan cara sendiri. Tidak perlu menuntut pasangan untuk jadi seperti
yang kita inginkan, atau seperti gambaran film romantic yang pernah kita lihat.
Cerita kita berbeda, kita yang membuatnya bersama. Kalau buat saya ada tambahan
sedikit, fokus menjalankan kewajiban,
bukan menuntut hak.
C. Sebagai Diri Sendiri
Disini saya juga merasakan bahwa penulis tahu betul
bagaimana karakter dirinya. Memahami, mencintai diri, untuk bisa membersamai
keluarga kita dengan cinta yang penuh. Untuk topik ini mungkin perlu saya buat
artikel tersendiri ya hihi.
Penutup
dalam bab ini :
Suami dan istri yang baik adalah ia yang tak menuntut pasangannya berubah seperti orang lain, melainkan menuntun pasangannya menjadi dirinya sendiri yang semakin baik setiap hari.
@fufuelmart
Bandung, 22 September 2017
Seorang perempuan yang sedang
jatuh bangun belajar
Hajah Sofyamarwa R.
No comments:
Post a Comment