Wednesday, May 24, 2017

Komunikasi Keluarga, Positif dan Konstruktif

Buku biru berpenampilan usang itu kembali saya buka. Terakhir membuka buku itu, ketika saya merasa perlu solusi atas suatu permasalahan komunikasi yang terjadi dalam keluarga. Kini  saya buka lagi, karena mungkin saya perlu mengingat kembali ilmu-ilmunya.

Komunikasi. Sesuatu yang tak pernah bisa lepas dari manusia. Sesuatu yang sangat penting, apalagi dalam satuan unit terkecil dari masyarakat, keluarga. Ketika kita percaya bahwa banyak hal berawal dari keluarga, maka memperhatikan komunikasi kita dalam keluarga menjadi sangat penting, setuju?

Saya banyak memperhatikan kawan-kawan dan bagaimana pola komunikasinya dengan keluarga. Ada yang begitu jujur hangat dekat, ada yang sekedarnya, ada yang dekat sekaligus sering debat, ada yang tipe unyu-unyu cocwit anet (lucu, so sweet banget - red) ada yang formalitas karena takut akan superioritas orangtua, ada yang dingin dan larut pada kesibukan masing-masing. Ah, saya selalu penasaran dengan hal ini.

"Ada jutaan keluarga lain yang para anggotanya kelihatan dapat bergaul rukun, tetapi hanya karena menghindari pengungkapan perasaan yang terbuka dan apa adanya. Karena pengungkapan perasaan dihindari, maka para anggota keluarga tersebut tidak dapat benar-benar saling mengenal satu sama lain, dengan demikian mereka tidak bisa mengalami keindahan dari keakraban dan persatuan yang berasa dari komunikasi yang terbuka, jujur dan konstruktif. Bahkan dalam banyak keluarga yang cukup rukun pun sering terjadi kesalah pahaman dan hal yang menyakitkan hati, sehingga kegembiraan dan kepuasan dalam hidup keluarga terganggu."
--- Sven Wahlroos, ph.d (pendahuluan hal xvi)

Sering saya temukan, orang-orang memilih diam daripada harus berargumen/berbicara. Kadangkala berbicara malah menambah runyam, namun kalau tidak dibicarakan apa jadinya? Setahun dua tahun mungkin bisa, tapi keluarga kan tidak ada istilah resign, tidak bisa berlepas diri dari interaksi.

Ajaran islam yang saya tahu, mengajarkan untuk menghindari debat kusir, debat yang tak jelas juntrungnya, lantas bagaimana? Ya, sepertinya kita perlu mempelajari bagaimana cara berkomunikasi yang baik, dan insyaallah ada ilmunya. :)

* * *

Untuk kepentingan pembahasan komunikasi keluarga, Sven Wahlroos dalam bukunya mendefiniskan komunikasi sebagai semua perilaku yang membawa pesan dan yang diterima oleh orang lain.

Komunikasi efektif berbeda dengan komunikasi konstruktif. Mengambil contoh dari buku, seseorang yang membanting pintu, mungkin bisa mrngkomunikasikan kemarahan secara efektif, tetapi komunikasinya tidak konstruktif dan memecahkan masalah. Sama hal nya seperti diri saya. Saya marah dengan diam (lalu mencuci piring, menyetrika atau beberes rumah hihi) yang kadang disertai bunyi-bunyian yang tidak biasa. Efektif, mengkomunikasikan bahwa saya sedang marah, tapi nyata nya tidak konstruktif. Suami saya tidak menyukai hal itu (haha gimana dong)

Menariknya, komunikasi yang secara sadar dimaksudkan sebagai positif, malah dapat diterima sebagai negatif. Jadi hemat saya, dalam berkomunikasi tetap perlu melihat ke dalam diri, apa yang kita anggap biasa/positif belum tentu ditangkap yang sama oleh lawan bicara kita.

Kesimpulan dari saya sampai saat ini : Kita perlu mengupayakan komunikasi yang positif dan konstruktif, setiap harinya.

"Hancurnya suatu hubungan biasanya disebabkan oleh hal-hal sehari hari yang keliatannya sepele, seperti tidak ad perhatian, permusuhan, pengjinaan, dan lain sebagainya, bukan oleh pengkhianatan & malapetaka. Demikian pula hubungan yang baik, didasarkan atas kasih sayang, perhatian, dan keterbukaan yang dipraktekkan setiap harinya."
-- Sven Wahlroos, Ph. D (Peraturan-peraturan komunikasi hal 8)

Selamat menyemai benih kebaikan pada keluarga kita :))
Jadi ingat mau masuk kelas Bunda Sayang sebentar lagi.
Mari tingkatkan terus belajarnya, aksinya :))

24 Mei 2017
Hajah Sofyamarwa R.

#30dwc #30dwcjilid6 #30dwchajah #day8

No comments:

Post a Comment