Friday, April 15, 2022

Menjadi Detektif Kebaikan di Bulan Ramadan


Ramadan bisa menjadi momen perbaikan bagi setiap orang. Setiap kita punya fokus perbaikan yang berbeda. Ada yang ingin memperbaiki aspek ruhiyah, jasadiyah, pola hidup, bahkan keseluruhan aspek kehidupannya.

Ada satu aspek yang kadang orang lupakan, yaitu aspek hubungan dengan manusia. Benar adanya kita memang butuh berfokus pada perbaikan diri selama ramadan, namun cobalah tengok sedikit mengenai aspek hubungan kita dengan manusia lainnya.

Coba pandangi sosok manusia terdekat yang ada di hidup kita. Pasangan? Anak? Ayah? Ibu? Teman kerja/sahabat? Adakah kita memiliki kekesalan atau unek-unek yang terpendam? 
Sadari, terima dan akuilah. Mungkin ini saatnya kita mulai membersihkan hati kita dari emosi negatif itu.

Saya hanya ingin sedikit berbagi mengenai apa yang pernah saya jalani, terkait mengungkapkan 'rasa' ini. Satu prinsip kuat yang saya pegang saat itu adalah "pahat kebaikan seseorang di atas batu, namun tuliskan keburukan seseorang di atas pasir." 

Apa artinya?
Artinya, dalam memandang seseorang, kita perlu mengingat-ingat kebaikan-kebaikannya, dan jangan berfokus pada keburukannya. Hal ini tentunya berada dalam konteks untuk menjaga diri kita agar hati tetap jernih.

1. Menjadi Detektif Kebaikan
Mengenai hal ini, prinsip yang saya pegang adalah bahwa saya hanya ingin menjadi manusia yang bersyukur. Manusia pasti punya kelebihan dan kekurangan, maka saya belajar untuk mensyukuri kelebihannya. 

Bagi orang yang cukup mudah lupa seperti saya, maka saya perlu menuliskannya. Setiap kebaikan yang kita rasakan, tuliskan dalam sebuah jurnal syukur atau catatan mengenai kebaikan orang pada kita.

Jangan pernah sepelekan hal-hal kecil yang orang lain lakukan. Hal sederhana sekecil apapun, catat dan sampaikan apresiasinya.

Catatan ini, sebaiknya berikan pada orang yang bersangkutan. Sebuah perwujudan dari rasa syukur dan terimaksih kita kepada mereka. Seperti apa yang Allah firmankan, semakin bersyukur maka semakin Allah tambahkan nikmatnya.

Menuliskan Perasaan
Prinsip pahat batu dan pasir tadi itu saya maknai dengan agak sedikit berbeda. Ketika kita mengalami perlakuan yang tidak baik, rasanya cukup manusiawi bahwa jiwa kita lebih tak kuat ya bila harus melupakannya? 

Akhirnya saya tak serta merta membuang memori 'buruk' itu dalam ingatan saya. Saya belajar untuk mendengarkan diri dengan menuliskan setiap rasa menjadi sebuah tulisan, sebut saja surat rahasia. Ya, rahasia, karena surat itu hanya untuk media kita menumpahkan unek-unek, bukan untuk disebarkan di media sosial.

Di waktu yang tepat, disaat damai diri sudah didapat, kita bisa menijau kembali, apakah tulisan tersebut dicukupkan untuk diri kita saja, atau bisa kita sampaikan pada orang yang bersangkutan.

Saya pernah mencobanya, tanpa bermaksud menyalahkan siapapun, hanya memberikan gambaran perasaan diri. Qadarullah hasilnya menjadi jauh lebih baik dan membuat hubungan menjadi lebih hangat.

* * *

Ramadan ini jadikan diri kita lebih bersih hati dari beban-beban yang tak diperlukan. Semakin bisa memperbaiki hubungan kita dengan orang terkasih di sekitar kita 🤗❤️

#Day14 #30dwcjilid36 #PejuangRamadan

No comments:

Post a Comment