(Sebuah Refleksi dari Target
Diri, dan Pembelajaran Bermakna dari Pak Hernowo)
Apapun yang anda baca, selayaknyalah Anda kemudian melanjutkan “pengikatan”, alias menuliskan pemahaman Anda atas apa yang Anda raih dari kegiatan membaca anda.”
--Hernowo
Komitmen pribadi yang saya buat
di bulan januari lalu untuk membaca 1 buku setiap pekan, hanya berjalan baik
selama 2 pekan. Komitmennya adalah membaca 1 buku dalam 1 pekan, kemudian
meresensi/mereview nya. Namun yang terjadi, saya berhasil melakukannya 2 kali
saja di awal, kemudian selanjutnya sekedar membaca buku yang ingin dibaca saja,
random, tanpa menuliskannya. Hingga
saat ini (bulan April 2017) saya belum benar-benar menamatkan sebuah buku pun.
Kalau boleh dinilai, keberhasilan targetnya baru 14% (sukses 2 dari 14 pekan). Dan
kalau dilanjutkan tanpa evaluasi, boleh jadi akan tetap tak bertambah sampai di
penghujung tahun. Mari jadi rakyat yang berkontribusi meningkatkan indeks
membaca di Indonesia. Hehe
Sebetulnya mengapa di 2 pekan pertama itu saya bisa berhasil, adalah
karena:
(1) Menentukan
target baca di awal bulan (misal 4 buku)
(2) Tentukan
judul buku apa yang ingin dibaca (tulis lengkap)
(3) Bawa
selalu buku itu kemanapun pergi, membaca nya dan lekas menandai hal menarik
(bersama stabilo, pulpen, post it, atau kalau perlu buku catatan khusus)
(4) Sambil
membaca sambil merangkai draft tulisan.
(5) Saat
waktunya menyelesaikan tulisan, hanya butuh waktu khusus, dan selesai!
Faktor kegagalannya ngga perlu
dibahas ya, di bulan pertama kurang menjaga konsistensi, dan di bulan
berikutnya, tidak menjalankan step 1 yakni membuat target. Otomatis keempat
step dibawahnya juga tidak jelas :))
Pak Hernowo, dalam bukunya Vitamin T mengatakan bahwa, sayang
sekali bila kita tidak langsung menuliskan (mengikat) bergeraknya pikiran kita
saat membaca. Pikiran kita yang berubah akibat proses membaca, kemungkinan
besar jadi hilang, dan terbuang percuma. Hilangnya pemikiran berharga kita itu
(sebut saja inpirasi yang datang –red), akan tertimpa oleh pikiran baru yang
mendesak, yang mungkin sebetulnya tidak lebih berharga dari apa-apa yang sudah
kita baca. Kemungkinan kedua, lanjut pak hernowo, adalah belum terbiasa nya
diri kita untuk mengikat makna setelah membaca buku, sehingga kita jadi merasa
berat untuk melanjutkannya ke kegiatan tulis menulis (mengikat) hal berharga
yang tiba-tiba kita dapatkan.
Sering begitu kah? Sayang ya,
apalagi di era digital dan informasi semacam ini, kita dibombardir berbagai
info, dan seharusnya kita punya waktu untuk bisa memasukkan pemahaman pada
pikiran kita dengan lebih baik.
Latihan Diri agar mampu melakukan
proses perekaman (mengikat makna) secara akurat:
1.
Mengikat
Makna dengan Membuat semacam catatan harian.
Biasakan diri
menulis secara cepat dan bebas, bisa
dengan kertas atau di handphone.
Kemampuan ini
perlu dilatih secara perlahan dan tidak terburu-buru, karena kalau tidak
dicicil kegiatan menuliskan itu jadi terasa seperti beban, berat, dan memakan
waktu. Padahal kalau setelah membaca segera menuliskan yang didapat, semuanya
terasa ringan.
Tidak perlu
memperdulikan struktur kalimat yang berantakan, tulis saja.
Manfaat kegiatan membaca lalu menulis :
a. membantu kita menangkap gagasan hebat yang
berkelebatan bagai kilat setiap saat.
b. Kegiatan membaca kita juga jadi lebih
efektif, berdampak pada pemerolehan “mata baru” yang nyata.
2.
Membaca
dan Menuliskan PIKIRAN, bukan sekedar HURUF
Apa bedanya ?
Hanya membaca huruf akan mengakibatkan kemalasan, sementara membaca pikiran
pengarang di buku yang kita baca dapat menggerakkan pikiran kita.
“Apabila seorang pengarang tidak mampu
menyampaikan gagasannya lewat bahasa tulis secara bagus, ada kemungkinan dia
belum pernah atau jarang berlatih menuliskan pikirannya. Seorang dikatakan
berhasil menuliskan pikiran apabila dia rajin menuliskan pikirannya setiap
hari.”
Saran pak
hernowo, saat menuliskan pikiran, gunakan kata ganti orang pertama, AKU. Mengapa?
Tulisan kita menjadi berisi diri kita sendiri, dan bahasa yang tampil di kertas
atau layar komputer pun menjadi bahasa khas milik kita. Huruf yang kita susun,
kata, kalimat, alinea, semua jadi menggambarkan pikiran dan perasaan kita
sehingga pada akhirnya kita bisa menemukan diri kita.
3.
Kita
dapat merumuskan ukuran sebuah tulisan yang baik dan menarik itu seperti apa
Sebuah tulisan yang dapat menampung gejolak
pikiran si penulis adalah tulisan yang ‘bertenaga’.
Artinya sesuatu yang mampu menggugah
dan berkemungkinan besar mengubah diri
penulis dan diri pembaca.
Ya, proses menulis
yang baik adalah ketika kita benar-benar mengupayakan untuk bisa berkomunikasi
dengan diri kita sendiri lewat tulisan-tulisan yang kita buat setiap harinya. Menurut
pak hernowo, Kita harus bersungguh-sungguh menggali inner-self (diri-lebih
dalam) dan bersabar untuk terus memperbaiki tulisannya, agar kita sendiri dulu
yang memahaminya, baru orang lain.
Pesan
terakhirnya, tulisan yang baik adalah tulisan yang kaya gagasan. Gagasan itu
bisa didapat dari pengalaman yang terjadi di diri sendiri taua dari buku-buku
karya penulis besar yang memang sudah “bergulat” dengan proses menuliskan
pikirannya.
Jadi, apakah proses membaca dan menulis yang
kita lakukan selama ini sudah bermakna untuk kita? Apakah sudah membuat kita
menemukan diri kita? Apakah kita bisa menangkap gagasan-gagasan dari seorang
penulis yang kita baca bukunya? Apakah kita sudah benar-benar menuliskan
pergulatan pikiran kita?
Mari membaca
(pikiran) dan menuliskan (pikiran) ! :)
Selasa, 11 April
2017
Hajah Sofyamarwa
R
#30DWC #30DWChajah
#30DWCday1
#30DWCjilid5 #day1
__________________________________________________________________________
Tulisan ini
merupakan refleksi dari targetan yang pernah saya buat, ditambah sedikit
rangkuman pengikatan makna dari salah satu bab dalam Buku Vitamin T “Antara
membaca-Menuliskan Huruf dan Membaca-Menuliskan Pikiran”
Gambar ilustrasi bakground diambil dari picarts, diedit dengan aplikasi phonto.
789 Words
ilmu baru buat saya mbak, terutama dalam hal membaca. harus segera dicoba nih :)
ReplyDeletemakasih ya ilmunya....