Ilustrasi. Gambar asli dari : http://farm5.staticflickr.com/4058/5124590031_0e576aa48f_z.jpg |
Kerudung hitam lusuhnya nyengsol. Sedikit bertabrak warna dengan baju atasan dan rok tigaperempatnya. Tangan kanannya mendekap erat tas jinjingnya yang juga hitam, entah bermotif apa.
Ia memanggil perlahan, aku terhenti.
"Neng," raut wajahnya terlihat malu-malu.
"Ibu ngga punya uang buat ongkos pulang, neng bisa bantu?", lanjutnya.
Aku menatap matanya penuh selidik. Bukan, bukan prasangka yang kukedepankan. Sekedar pasang kuda-kuda agar lebih mawas diri. Aku yang mudah terpedaya ini, judulnya sedang menguatkan pikiran sehat daripada perasaan.
Kutarik nafas perlahan, menanyakan segala informasi yang perlu kutahu untuk membantunya.
Aku heran, bagaimana ia memilih pergi keluar, tanpa menyiapkan ongkos pulang pergi. Katanya, ia mau kembali ke Rancaekek. Habis dari rumah saudara untuk pinjam uang, tapi yang dicari sedang ke luar kota. Kini uangnya hanya bersisa lima ribu rupiah, untuk sampai ke Rancaekek. Di depan Kantor BPJS Jl. Pelajar pejuang tempat kami bertemu ini, ia hanya punya dua opsi, mencari bantuan dari orang sekitar, atau berjalan kaki sampai tempat bus di Jalan Soekarno Hatta.
Aku berpikir keras. Dulu aku pernah mengalami ini. Ngga ngasih, kasian, kopet pisan ngga mau bantuin. Mau ngasih takut ini itu. Akhirnya tanpa ba-bi-bu kuberikan selembaran uang yang kupunya. Tapi setelah itu aku tak tahu pasti apakah orang yang meminta bantuan itu benar-benar membutuhkan atau sekedar mencari belaskasihan. Maka, langsung memberikannya uang, bisa jadi bukan opsi bantuan yang tepat.
Kini kupikirkan beberapa opsi bantuan. (1) Menunggu suami datang dan memintanya mengantar ibu ini ke tempat naik bus, (2) merekomendasikannya mendatangi lembaga amal (entah kenapa yang terpikir waktu itu Rumah Amal Salman, padahal jauh).
Tak lama, muncullah sebuah ide dalam kepalaku. Kupanggilkan saja ojek online untuk mengantarkan ibu ini ke tempat perhentian bus. Mudah saja, kalau memang ibu itu jujur, ia tidak akan keberatan. Tapi kalau segera menolak dan pergi bisa jadi hal lain.
Awalnya ia menolak, "Ngga usah neng, repot-repot. Kalau ada mah minta lima ribu aja buat ongkosnya."
"Ngga apa-apa bu, justru gampang ngga repot, lebih cepet juga naik motor. Pakai ojek online" Kataku.
"Itu punya eneng? Harus punya helem atuh ya?", tanyanya polos
"Bukan bu, saya cuma pesan. Helemnya udah ada dari ojeknya." Jelasku.
"Jadi ibu nunggu aja disini, ini teh?"
"Iya bu, agak geser aja yuk kesana, biar gampang dicari mang ojeknya."
Sambil menunggu, kami berbincang. Aku tahu bahwa beliau asli Tasik, Rajapolah katanya. Kubilang kemarin aku mudik ke tasik, ditawari mampir ke rumahnya. Tapi aku lupa tepatnya, rajapolah 179, katanya? Aku lupa, entah.
Tak lama ojek pesanan kami datang. Sang ibu pun terbang bersama angin, eh, tukang ojek.
* * *
Hikmah dari pengalaman yang kudapat: Tetap tenang, berpikiran jernih, dan tetap waspada. Tak bisa kita pungkiri masih banyak orang-orang yang mencari uang dengan cara yang tidak baik, namun tentu saja harus bisa kita bedakan dengan yang memang membutuhkan bantuan.
Ketika memberikan uang tunai beresiko, kita bisa meminta bantuan pihak ketiga (dalam hal ini ojek online) untuk tetap membantunya. Terimakasih ya, apps nya sangat membantu :)
Kalau memang ada uang lebih ya, silakan saja bantu. Perkara mendidik, atau tidak mendidik pasti ada konsekuensinya. Kalau sedang kejadian, kadang hati saja yang bisa menilai. Semoga Allah karuniakan hati dan pikiran yang dapat merespon segalanya dengan benar. Insyaallah ada hitungannya masing-masing, kan ya?
Kamis, 6 Juli 2017
Hajah Sofyamarwa R.
#30dwc #30dwcjilid7 #30dwchajah #day1
No comments:
Post a Comment