Tengah malam ini, sesuatu yang seru mengantarkan saya untuk membuka lemari dan mencari buku yang terkait.
Membaca habis yang sedang dicari, namun berujung kekecewaan karena bahasannya memang tidak banyak. Lompatlah jemari saya membuka-buka halaman lainnya, secara acak.
Kado Pernikahan Untuk Istriku, begitu judulnya. Buku yang baru saya sadari siapa penulisnya, tepat diwaktu yang sama saat saya menuliskan review ini. Ya, saat mencari buku tadi, saya hanya mencari judul yang kira-kira akan sesuai dengan yang saya butuhkan. Ternyata penulisnya Ustadz Fauzil Adhim hehe.
Halaman demi halaman saya lompati, mencari yang menarik dan memang diperlukan. Sampai suatu ketika, saya menemukan bahasan mengenai ghibah, sesuatu yang bagi saya rasanya cukup aneh ada di buku pernikahan semacam ini.
"Banyak diantara kita yang merasa tidak menggunjing ketika mereka membicarakan orang lain, meskipun telah jelas-jelas menggunjing."
Itulah kutipan yang membuat saya terpaku pada topik itu di malam ini. Pasalnya, sepekan terakhir ada beberapa kejadian yang saya alami terkait topik itu.
Saya pribadi bukan manusia tanpa cacat yang tak pernah ikutan "gatel" membicarakan keburukan oranglain (astaghfirullah). Saya hanya bisa menahan diri untuk berusaha tidak membicarakan keburukan orang lain. Bukan apa-apa, saya tahu diri kalau saya cukup mudah terpengaruh dengan penilaian orang lain. Ketika seseorang bilang si X begini begitu, bisa jadi alam bawah sadar saya merekamnya, mengubah sikap saya jadi ikut-ikut tidak baik pada si X. Padahal saya belum pernah mengalami apa yang seseorang itu lakukan pada saya. Prinsip saya, selama dia baik sama saya yaudah saya ngga usah pikir macam2. Kalau ada yang punya pengalaman buruk dengan orang itu, saya cukup tahu aja, ngga usah khatam dengerinnya. Hehe. Tiap orang beda ya penyikapannya.
Makanya kadang saya suka agak kesal sama yang suka ngomong buruk di depan saya, sekali lagi bukan karena saya suci tapi karena saya tahu kelemahan diri saya, bisa terpengaruh.
"Tahukah kalian apakah ghibah (menggunjing) itu?", Tanya nabi. Mereka menjawab, "Allah dan RasulNya lebih mengetahui."
"Ghibah," kata nabi, "adalah membicarakan saudara kalian dengan cara yang tidak akan dia sukai."Salah seorang sahabat kemudian bertanya, bagaimana jika yang aku katakan mengenai saudaraku itu hal yang sebenarnya?" Rasulullah menjawab, "Jika yang engkau katakan itu benar, maka engkau telah mencemarkan nama baiknya (dengan ghibah), dan jika dia tidak seperti yang engkau katakan, maka engkau telah menuduhnya dengan kebohongan dan dusta (buhtan)."
Ghibah itu ust. Fauzil bahas pada bab ke-18 dengan subjudul Keasyikan yang Menghancurkan Keluarga. Ust fauzil memberikan beberapa dalil dari Ayat al quran juga dari hadits, serta melengkapinya dengan kisah kisah sahabat. Selain itu, penulis juga mengungkapkan pengalaman pribadinya saat mengalami hal serupa.
Rasa heran yang pertama saya dapat saat menemukan topik ghibah dalam buku ini, perlahan terangkat. Saya mulai menemukan benang merahnya pada sebuah keluarga. Menariknya, saat membicarakan topik ghibah ini, ustadz fauzil menghubungkannya dengan berbagai fenomena : fenomena menonton TV, manfaat merantau, pengaruhnya pada pendidikan anak.
Ada yang penasaran, apa kaitan semuanya? Yuk kita bahass ^^
1. Menonton TV
Pada saat menonton TV bersama, yang terjadi bukan kontak psikis yang erat dan akrab. Kedekatannya hanya karena berada di tempat kegiatan yang sama, bersifat fisik saja (physical closeness). Seolah dekat, tapi batin saling berjauhan dan tidak saling menyapa. Kesekatan semu (pseudo-attachment), mungkin sama halnya dengan naik kendaraan umum bersama orang lain, sekedar berada di tempat yang sama, tapi tak saling berinteraksi. Lebih lebih sambil memegang gadget masing-masing. Sibuk dengan dunia sendiri. Jaman sekarang, bukankah kita begitu sering seperti itu?
Dampaknya mungkin tak langsung terasa sekarang, tapi di kemudian hari ketika anak-anak "tiba-tiba" menyimpang jauh dari yang biasa kita pantau. Tak ada kedekatan yang hangat.
Lalu apa kaitannya menonton TV dengan bergunjing? Saat bergunjing memang terjadi sebuah komunikasi dua arah (misal antara A dan B), tapi fokus utama masing-masing adalah pada kejelekan orang yang dipergunjingkan (misal si C). A dan B sejatinya juga merasa diri lebih unggul dari C (sadar ataupun tidak). A tidak lebih tahu tentang B, begitupun sebaliknya. Komunikasinya cenderung bersifat permukaan (periferal), tidak memperoleh kebutuhan psikis interpersonalnya.
"Kebiasan semacam itu, terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Masalah-masalah yang datang disikapi secara dangkal saja (karena tidak terbiasa lagi melihat akar masalah), diselesaikan dengan mengandalkan otoritas --terutama jika berkenanaan dengan anak--sehingga masalah tak benar-benar terselesaikan, kecuali permukaannya saja... Dari sinilah kemudian anak merasa tidak memperoleh perhtian yang dibutuhkan, tidak menemukan kesejukan yang diharapkan, dan tidak mendapatkan orangtua yang 'mendengarkan' dia... Budaya bicara dan pemecahan masalah yang lebih banyak menyangkut keburukan orang lain, dan jarang berbicara tentang apa yang dibutuhkan oleh jiwanya sendiri, menjadikannya merasa asing dengan realitas psikis istri atau suaminya."- Ust. Fauzil Adhim
Sampai sini mulai terbayang ya, kemiripan aktivitas menggunjingkan orang dengan aktivitas menonton TV bersama? Bagi saya itu masuk akal, namun juga tidak meniadakan pengaruh positif yang mungkin ditimbulkan dari menonton TV bersama. Kalau aktivitas menonton TV diinsyafi secara baik sebagai salah satu sarana pembelajaran, yang dipantau dengan benar, insyaallah akan ada manfaat juga. Yang penting sekarang kita sudah lebih tahu tentang makna sebenarnya dari aktivitas itu lebih mendalam, kan ya?
Poin ke-2 dan ke-3 dilanjut pada postingan berikutnya ya :)
No comments:
Post a Comment