Tuesday, July 11, 2017

Menunda Menikah, Ingin Membahagiakan Orangtua Dulu?

Masalah jodoh atau pernikahan selalu menjadi topik yang menarik diperbincangkan di setiap ruang dan waktu. Tak jarang pula menjadi sebuah candaan ringan bagi para single-single untuk saling mengakrabkan diri. Berbagai fenomena pernikahan yang ramai di media sosial masa kini juga sedikit-banyak membuat para "jomblo" menjadi baper, kegerahan, dan panas (memangnya kompor..)

Di samping itu, ada pula yang tetap adem ayem saja, santai. Mengikuti alur kehidupan, meyakini ketentuan Allah dalam takdirnya, mungkin sembari tetap berikhtiar melakukan pencarian. Ada pula yang memiliki targetan khusus, semacam prasyarat kualifikasi diri yang harus terpenuhi sebelum menjejakkan langkah ke jenjang pernikahan.

Ada banyak prasyarat yang orang tentukan, umumnya seperti : ingin berkarir dulu, mapan dulu, lanjut kuliah dulu, backpackeran dulu, ingin menghafal quran dulu, atau ingin bahagiain ortu dulu.

Menurut saya, semua prasyarat itu tidak ada yang salah, sama seperti yang menikah cepat/muda. Semuanya relatif, bergantung kondisi masing-masing. Toh yang menjalani ya diri masing-masing, pertanggungjawabannya masing-masing, takdir Allah nya juga masing-masing.

Saya bukan termasuk orang yang mendorong orang-orang untuk menikah muda, meskipun pada jamannya saya pun menikah muda. Prasyarat pribadi saya waktu itu hanya 1, pernah merasakan bekerja. Walhasil setelah resign dan ada yang melamar, ketika calonnya masuk kriteria saya, maka menikahlah. Hehe. Dipikir-pikir polos banget ya saya waktu itu.

Yang saya lakukan, menurut saya juga tidak salah, namanya juga jodoh. Namun dari pemikiran di atas, saya jadi merenung, dan berupaya memiliki pemikiran yang lebih matang.

Pernah dengar tentang orang yang menunda menikah karena mau bahagiain ortunya dulu?

Terlepas dari seberapa besar upaya yang dia lakukan, atau seberapa berhasilnya dia membahagiakan orangtuanya, saya sangat apresiasi pada orang yang bilang "mau bahagiain orangtua dulu" :)

Kadar bahagia mungkin tak punya parameter khusus yang eksak. Tapi kesungguhan untuk senantiasa berbuat baik pada ortu, dan kesadaran akan kewajiban anak pada orangtua, insyaallah akan membuat hidup menjadi berkah. Banyak anak yang belum sadar tentang tanggungjawabnya terhadap orangtuanya, ia bingung harus berbuat apa pada orangtuanya.

REMINDER BUAT PEREMPUAN
Bagi kaum perempuan, ketahuilah, pahami baik-baik.
Setelah menikah, otomatis perhatian kita porsinya akan lebih banyak ke suami dan anak. Surga kita "berpindah", ditentukan dari ketaatan kita pada suami. Pasti ada keterbatasan yang muncul setelah menikah. Bisa jadi jauh secara fisik, materi, juga terbatas dalam perhatian. Bukan berarti tidak bisa, tapi pasti ada perbedaan.

Bagi yang bekerja, masih bisa membantu secara materi. Bagi yang hanya mengandalkan gaji suami, perlu pengaturan ekstra.

Bagi yang tinggal serumah, mungkin masih bisa bantu-bantu tenaga, bisa berinteraksi. Bagi yang pisah rumah, mungkin hanya bisa sesekali datang dan membantu, dan mengoptimalkan waktu temu yang sebentar itu.

Saya termasuk yg baru "sadar" nya paska nikah (tepatnya sesaat sebelum nikah, jadi mepet), jadi sekarang saat udah punya keluarga baru, lagi berusaha mencari segala cara buat tetap berbakti sama ortu :)

REMINDER BUAT LAKI-LAKI
Kalian harus tahu betul apa keinginan orangtua kalian. Pengetahuan ini tak bisa sekedar sekali bertanya, tapi berproses. Proses pendekatan pra menikah ini seharusnya so sweet, karena biasanya di usia ini sebagai anak kalian sudah punya kesadaran diri. Sikap dan kata-kata sebaiknya sudah dipastikan baik pada orangtua.

Berbeda dengan perempuan, laki-laki tidak bisa berlepas diri dari ibu bapaknya sekalipun sudah menikah. Jadi, episode bahagiain ortunya memang ga pernah habis. Mungkin kalau mau buat target, targetannya perlu dibagi jadi dua fase (fase pra nikah dan pasca nikah)

Kata mapan, bukan melulu materialistis. Ketika sudah mapan, terbiasa membantu orangtua secara materi, lebih dewasa dalam berinteraksi, dan memiliki lingkaran rekanan kerja yang positif, insyaallah dampaknya juga positif saat sudah berkeluarga nantinya.

Kita semua tahu, orangtua akan bahagia kalau anaknya menikah. Hanya saja, proses menuju pernikahannya juga harus menyamankan, sebagai anak juga harus tahu keinginan terdalam orangtua, dan pada waktu yang tepat.

Pastikan saja orangtua melepas pernikahan kita dengan hati ikhlas supaya doa doanya juga mengalir terus :)

* * *
Sekian ulasan dari saya yang faqir ilmu ini. Sekedar mengambil hikmah dari kehidupan yang saya jalani. Bukan sok menasehati, hanya sekedar sudah lebih dulu saja menjalani. Semoga bisa diambil manfaat nya ya :)

Menurut kamu gimana? Share pengalamannya ya

Selasa, 11 Juli 2017
Hajah Sofyamarwa R.

#30dwc #30dwchajah #30dwcjilid7 #day5

1 comment:

  1. Kumpulan Feedback dari para fighter untuk tulisan ini, pada hari selasa-rabu (11-12 Juli 2017) :

    Zuharin : Ada nya untuk Tuhan tidak huruf besar. Sudah okee.

    Halimun zuhara (siti nurhalimah) : Hai mbak Hajah, ada kata 'nya' untuk Tuhan yang tidak berkapital.
    'Tanggungjawabnya terhadap orang tuanya' ada dua 'nya' disitu,mungkin bisa pakai satu aja, biar enak bacanya. But, tulisannya bagus. Keep on fire mbak. ☺

    Maya : Tulisannya 😍😍😍

    Ibnu basyier : Hai, mbak. Jumpa lagi di jilid 7.
    Tulisannya keren banget. Saya setuju dengan ulasannya. Sebagai lelaki yang nikah diusia muda, saya justru merasa lebih bisa berbakti kepada orang tua setelah menikah. Ya, salah satunya karena menikah itu proses mendewasakan diri.
    Setelah menikah, saya kadang merasa justru menjadi "ayah" bagi adik-adik saya. Adik misalnya konsul ke orangtua soal rencana nikah, justru dialihkan ke saya. Persetujuan ada di tangan saya.
    Ya, saya setuju bahwa membahagiakan orang tua itu bukan melulu soal harta dan kata mapan.

    Dita Widya Utami : Masih ada singkatan "ortu". Lebih baik nggak usah disingkat ya kak πŸ˜‰. Ide tulisannya bagus, cocok untuk para jomblo yang sedang membaikkan diri sebelum berjumpa dia yang ditakdirkan untuk bersama membangun rumah tangga 😊.

    Sekar Kusuma : sukaa, aku terhanyut sama kisahnya. ada typo *sekedar* harusnya sekadar. Keep growing

    Annisa Nadiarachma : Subhanallah!!! Karya yang sampai membuat saya melakukan 'screenshot' dibeberapa paragraf.πŸ˜‚ Sempurna, bunda cantik😍 karena saya mengalami gejolak yang sama dengan tulisan bunda. Sangat bagus! Menancap kuat dihati sebagai refleksi diri, karena saya hidup bersama Ibu sebagai sosok single parent sejak kematian Ayah. Kebahagiaan Ibu menjadi prioritas utama diatas kebahagiaan saya pribadi. Sukses selalu ya untuk bunda, semoga keberkahan, nikmat hidup senantiasa mendekap hangat keluarga bunda Sofya. Salam literasi!

    Meutia : Wah, ini tema yang hits dan selalu laku dijual kepada kaum singlelillah ya haha.. Ada remindernya juga bagi masing-masing yang ingin memantaskan diri. Tetap semangat menulis Mbak Hajah :)

    Rina Tata Reny S: Ini tema yang selalu hangat untuk dibahas. Tulisannya juga enak dibaca, sukaaa.

    Ria Bhekti : Ini temanya kekinian banget mba, memang problem yang banyak dihadapi singlelillah selain jodoh yang tak kunjung hadir (saya bukan curhat lho) πŸ˜…

    Farah Nadia Karima : Bagus mba tulisannya dipaparkan beberapa sudut pandangπŸ‘ŒπŸΌ

    Leny Puspadewi : Mba Sofya, tulisannya bagus πŸ‘πŸ˜. Dari penuturan, pemakaian bahasa, gaya bahasanya. Terasa mengalir, sangat mudah dipahami. Belum bisa memberikan masukannya untuk kali ini, karena udah oke kalo buat sy πŸ‘πŸ˜. Semangat terus ya Mba Sofya πŸ’ͺ.

    Alhamdulillah, terimakasih banyak atas kesediaannya membaca dan memberikan feedback. Semoga bisa saya perbaiki juga tulisannya. Semangat para pejuang literasi ^^

    ReplyDelete