by : Marison Guciano, MAHASISWA PASCASARJANA UI
LIAISON OFFICER ORANG UTAN REPUBLIK EDUCATION
INITIATIVE (OUREI)
Sumber : KOMPAS, 3 Februari 2012
Jika pohon terakhir telah ditebang, ikan terakhir telah ditangkap, sungai terakhir telah mengering, manusia baru sadar bahwa uang tak bisa dimakan. (Suku Indian)
Jared Diamond dalam
bukunya, Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (2005), memasukkan
Indonesia, selain Nepal dan Kolombia, sebagai peradaban yang mungkin dekat
dengan keruntuhan.
Krisis ekologi,
seperti yang kini terjadi di Indonesia, disebut Diamond sebagai salah satu
persoalan yang mendasari keruntuhan peradaban pada masa lalu. Ia mencontohkan
kepunahan bangsa Viking Norse di Skandinavia gara-gara tak sengaja menyebabkan
erosi dan penggundulan hutan sehingga menghancurkan sumber daya mereka.
Diamond juga
mengangkat sejarah Ankor Wat, peradaban bangsa Maya, Kepulauan Easter, bangsa
Zimbabwe, dan lembah Sungai Indus sebagai pelajaran penting bagaimana
seharusnya kita memperlakukan alam.
Krisis Ekologi
Kekhawatiran Diamond
bahwa Indonesia akan mengalami tekanan lingkungan paling buruk sudah terbukti.
Sepekan terakhir, bencana banjir menenggelamkan puluhan kabupaten dan kota.
Bencana ekologi,
seperti banjir, sebenarnya bukan yang pertama. Sepanjang tahun, bencana serupa
rutin menerjang pelosok negeri seolah tak mungkin berkesudahan. Pada musim
kemarau, bencana kekeringan sering kali melanda; penduduk kesulitan air bersih
dan petani tak bisa lagi mengairi lahan pertanian.
Data Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, dalam dua tahun terakhir (2010-2011)
terjadi 3.830 bencana alam yang melanda Indonesia dengan jumlah korban
meninggal 2.973 orang dan 112.664 rumah rusak. Banjir, banjir bandang,
kekeringan, dan tanah longsor disebutkan BNPB sebagai bencana yang paling
dominan melanda Indonesia.
Fenomena alam,
seperti cuaca buruk tingginya intensitas curah hujan, sering kali menjadi
kambing hitam atas sumber dari segala sumber malapetaka ini. Padahal, bangsa
yang tak pernah punya visi ekologi merupakan pangkal sebab menurunnya daya
dukung lingkungan dan hadirnya bencana ekologi di sekitar kita.
Kawasan hutan yang
terus beralih fungsi menjadi permukiman, industri, lahan pertanian, dan
perkebunan; pembalakan liar yang marak; gaya hidup hedonis yang tak ramah
lingkungan juga pangkal sebab ketidakseimbangan ekosistem dan daya dukung
lingkungan. Di lain pihak, dana-dana rehabilitasi hutan dan penanggulangan
bencana justru bergulir tidak tepat sasaran, dikorupsi mafia-mafia anggaran.
Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia mencatat, hingga 2011, 42,96 juta hektar—setara 21 persen dari
total luas daratan Indonesia—telah diizinkan negara untuk kegiatan eksplorasi
pertambangan. Untuk kelapa sawit, dari rencana 26.710.800 ha telah terealisasi 9.091.277
ha. Sementara alih fungsi ekosistem rawa gambut mencapai 3.145.182 ha.
Berdasarkan data
Forest Watch Indonesia (2009), dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, tutupan
hutan di Indonesia berkurang dari 162 juta ha menjadi hanya 88,17 juta ha pada
2009 atau setara dengan sekitar 46,3 persen dari luas total daratan Indonesia.
Bersamaan musnahnya
puluhan juta hektar tutupan hutan itu, punah pula jutaan keanekaragaman hayati
di dalamnya. Padahal, keanekaragaman hayati berfungsi sebagai penyedia sumber
air dan kebutuhan nyata jutaan penduduk, penyedia tanaman obat, sumber stok genetik,
regulasi iklim, pencegah bencana alam, serta penjaga keseimbangan ekosistem.
Keputusan Penting
Sepanjang sejarah
Indonesia, bangsa ini sering kali mengambil keputusan keliru terkait masalah
ekologi. Sebutlah obral izin pengusahaan hutan, maraknya kebijakan alih fungsi
hutan lindung, pemberian keistimewaan bagi konglomerat kehutanan melalui
penghapusan utang.
Belum lagi terbitnya
PP No 22/2008 yang dinilai kontroversial karena memberi keistimewaan bagi
petambang untuk menambang di hutan lindung, pasifnya penegakan hukum
lingkungan, hingga masyarakat yang menganggap orangutan sebagai hama sawit
sehingga layak dibantai seperti baru-baru ini terjadi di Kalimantan Tengah.
Diamond
telah meninggalkan warisan berharga sebagai bahan pelajaran bagi bangsa
Indonesia untuk mengambil sebuah keputusan penting terkait masa depannya.
Seperti dikatakan Diamond, kekeliruan membuat keputusan akan menyebabkan bangsa
ini mempercepat kepunahan sendiri.
_____________________
sumber artikel : http://budisansblog.blogspot.com/2012/02/bangsa-tanpa-visi-ekologi.html>
hasil blajar dari #kuliahekologi pake tuiter https://twitter.com/#!/search/realtime/%23kuliahekologi
:)
hasil blajar dari #kuliahekologi pake tuiter https://twitter.com/#!/search/realtime/%23kuliahekologi
:)
No comments:
Post a Comment