"Apa yang kita rasa ada pada diri kita saat ini, belum tentu akan terus ada hingga nantinya. Begitu pula apa yang belum ada pada diri kita, suatu saat mungkin akan hadir dalam diri kita. Entah hal baik atau hal yang dirasa kurang baik."
--Hajah Sofyamarwa
Saya menisbatkan diri sebagai orang yang cukup sabar. Relatif sebenarnya, ukuran saya hanya membandingkan dengan orang orang di sekitar saya, dan tentu saja penilaiannya belum tentu bisa dipertanggungjawabkan.
Apa yang saya rasakan adalah hasil dari apa apa yang saya alami, faktor utama adalah dari keluarga dan lingkungan yang saya pilih (dipilihkan Allah tentunya). Perasaan tersebut mengalami perubahan setiap saat mengalami pengalaman baru, maka dari itu, tentu saja seiring waktu hidup berjalan, akan ada perubahan-perubahan lain yang entah menggiring hidup kita kemana.
Dari mana kita belajar sabar?
Menurut saya setidaknya ada 2 sumber utama :
1. Melihat sendiri contoh teladan orang yang sabar.
Dari tipe sumber semacam ini, kita melihat langsung bagaimana aplikasinya. Terinspirasi oleh teladan tersebut untuk menjadi orang yang sabar.
2. Berada di lingkungan yang mengharuskan kita terus bersabar.
Kalau tipe yang ini, awal belajar sabarnya biasanya "terpaksa". Belajar sabar dari tipe ini seringnya sakit dulu di awal, namun terasa sekali makna sabarnya. Karena memang begitulah sabar, butuh proses untuk menghayatinya.
Dari pemaparan di atas, bisa dirasakan mana sumber utama kita belajar sabar? Kalo penulis mah udah ketahuan kan yang mana? Hehe
Mana yang Terbaik?
Saya sedang pada suatu titik dimana semua hal (yang bahkan orang bilang berlawanan) itu benar, relatif tergantung sudut pandang dan kondisi. Tidak bermaksud membenarkan semua hal, tapi kita bisa lihat kondisi hidup setiap orang begitu beragam, apa yang terbaik bagi satu orang, belum tentu cocok untuk hidup orang lainnya. Maka kejernihan pikiran, kesadaran diri, kemampuan mengambil pelajaran dan kemauan mencari hal benar, menjadi faktor yang sangat penting.
* * *
Banyak latarbelakang topik yang membuat penulis ingin menuangkan rasa tentang sabar. Namun kali ini, karena pada topik ini muncul suatu kekhawatiran, maka akhirnya saya beranikan untuk mengungkapkannya.
Sabar Pada Anak Kecil
Hal ini sempat saya posting disini, namun sekarang muncul kekhawatiran.
Ketika saya merasa cukup sabar, apakah nantinya saya masih sabar?
Ketika saya sabar (dan senang) mengurus anak orang lain, apakah nanti ketika anak saya lahir dan cukup besar, saya masih bisa sabar?
Bukankah menjadi guru dan mengurus anak orang interaksinya hanya sebentar saja, sedangkan kalau dengan anak sendiri akan berinteraksi setiap waktu?
Ataukah justru kesabaran saya sudah habis pada saat masanya nanti? Naudzubillahi min dzalik.
Hal ini begitu terasa ketika Allah menakdirkan saya tinggal bersama ibu mertua, yang masih punya anak laki laki kecil usia 5 tahun. Bermain sebentar sebentar sangat asik, tapi kalau harus terus sepanjang hari, bukankah saya juga sempat mengacuhkannya? Bukankah seharian bersama penuh begitu melelahkan ketika kita sedang ada pekerjaan lain juga?
Astaghfirullah..
Entahlah, mungkin nanti akan beda ketika punya anak sendiri. Mungkin nanti akan ada rasa berbeda. Hanya bisa berdoa, semoga nanti siap dengan amanah yang tak lama lagi akan segera hadir di kehidupan.
No comments:
Post a Comment