Thursday, April 11, 2013

Salman, Jelang Setengah Abad

(Oleh: Pak Adriano Rusfi)

Orang boleh saja bergunjing tentang kemundurannya. Tapi saya tak pernah hilang kagum pada masjid yang satu ini. Masa lalunya terlalu gemilang untuk tak meninggalkan sinar hingga hari ini. Bak seorang perempuan jelita berusia jelang setengah abad, gurat-gurat kecantikan masa lalunya masih saja tersisa untuk dinikmati hingga hari ini. Lalu, bisakah ia kembali jelita seperti tiga puluh – empat puluh tahun lalu ?

Tentu saja tak mungkin, karena waktu tak dapat diputar mundur. Bahkan, berpikir untuk mengembalikannya ke kejelitaan masa lalu, adalah malapetaka sendiri bagi masjid ini. Ia menjadi gagal mengulangi kejayaannya, karena terpenjara oleh masa lalu, masa lalu yang tak dapat diulang, masa lalu yang seluruh variabelnya tak dapat dihadirkan pada hari ini. Karena Bang Imad tak dapat dikloning, dan Kang Sadali tak dilahirkan untuk hari ini.

Tapi bukankah Salman bisa melahirkan ? Menurunkan anak dan cucu yang sama cantiknya, bahkan lebih cantik dari dirinya ? Anak cucu yang dilahirkan dan dididik untuk hari ini dan masa depan, bukan untuk masa lalu. Ya, Salman harus berketurunan, bukan berpikir untuk kembali muda. Dan untuk itu Salman harus segera menikah !

Menikahlah segera untuk berketurunan. Karena Salman mustahil berkelamin ganda, dan Salman tak mungkin menghamili dirinya sendiri. Kaderisasi adalah hasil perkawinan, bukan hasil kloning. Kaderisasi adalah buah kawin silang DNA Salman yang terkenal unggul itu dengan DNA ITB hari ini, dengan DNA Bandung hari ini, dengan DNA realitas keindonesiaan hari ini dan dengan DNA keummatan hari ini. Pernikahan tak akan membuat Salman kehilangan jati diri, karena DNA Salman kekal, unggul dan dominan.

Menikahlah hari ini atau Salman akan keburu menopause, karena sebentar lagi ia akan berusia setengah abad. Masih ada tersisa sedikit kesempatan untuk melahirkan Salman muda, anak jaman terbaik yang prestasinya dapat dibandingkan dengan tantangan jamannya pula, bukan dibandingkan dengan ibunya. Karena definisi kejelitaan telah berubah antara dulu dan kini.

Membaca DNA Salman ?
Salman tinggal memilih dan meminang jodoh yang paling cocok dengan DNA miliknya. Cocok tak identik dengan sama, karena cocok dapat terjadi karena kesamaan (similarity), kedekatan (proximity), bahkan pertentangan (contrast). Yang masalah adalah jika Salman bahkan tak mengenal DNA dan jatidirinya sendiri. Tersamar antara jatidiri dengan kosmetika, antara substansi dengan performa, antara hakekat dengan syi’ar.

Seharusnya Salman tak galau dengan jatidirinya. Fakta telah banyak bercerita bahwa jatidiri Salman bukanlah popularitas dan ketenaran, karena salman bukan Sri Panggung, Salman bukan selebriti atau pesohor. Sebenarnya Salman hingga hari ini masih tetap tenar dan populer. Setidaknya para aktivis dakwah dari Sabang hingga Merauke masih melafalkan namanya dengan bangga. Toh ummat tetap tak puas dan berkata,”Itu bukan Salman !”.

Jatidiri Salman juga bukan terletak pada keramaian dan kemeriahan, karena hingga hari inipun Salman tetap ramai dan meriah. Bukankah tiap sudut Salman hari ini tetap riuh rendah ? Lihatlah masjidnya, gedung kayunya, papan informasinya, gedung serba gunanya, taman Ganeshanya, Rumah Amalnya atau Lembaga Muslimahnya, tetap hingar-bingar. Tapi ummat tetap saja menggerutu,”Bukan itu yang ku mau !”.

Jatidiri Salman ternyata juga bukan terdapat pada keterbukaannya. Sampai hari ini Salman masih saja seterbuka dulu. Kaum puritan hingga hedonis hadir di Salman. Fundamentalis atau liberal diterima di Salman. Nasyid hingga musik cadas manggung di Salman. Cadar hingga rok mini shalat di Salman. Namun ummat masih saja belum puas,”Bukan itu maksudku !”.

Yang ummat baca pada DNA dan jatidiri Salman adalah kontribusi dan signifikansi. Bahwa Salman ada jika dia berguna dan bermakna ! Ini adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Sekadar berguna namun tak signifikan maka Salman tak ada. Signifikan namun tak kontributif maka Salman menjadi percuma. Salman ditakdirkan memang bukan untuk menjadi sekadarnya dan biasa-biasa saja.

Salman jelas dibesarkan oleh kontribusi dan signifikansi. Latihan Mujahid Dakwah (LMD) menjadi legenda karena kontribusi dan signifikansinya bagi militansi yang dibutuhkan saat itu. Mentoring Karisma menjadi benchmark seluruh remaja masjid karena kontribusi dan signifikansinya bagi pendidikan kaum remaja. Penerbit Pustaka menebar pesona karena kontribusi dan signifikansinya dalam menawarkan wawasan gerakan dakwah yang mendunia.

LMD, Mentoring dan Pustaka adalah masa lalu, bukan DNA, bukan jatidiri Salman. Menghidupkan kembali ketiganya tak akan banyak berarti, kecuali sekadar bernostalgia. Karena yang menjadi Jatidiri dan DNAnya adalah kontribusi dan signifikansi, sedangkan ketiganya hanyalah buah dan produk dari kontribusi dan signifikansi masa lalu.

Tanpa kontribusi dan signifikansi, Salman niscaya terkubur. Karena arsitektur masjidnya biasa-biasa saja, tak gemerlap seperti Masjid Kubah Emas Dian AlMahri. Secara geografis ia akan terinjak oleh pamor kampus ITB, oleh Factory Outlets yang berjejer sepanjang Dago, atau oleh hingar bingarnya Kebon Binatang Bandung. Tanpa kontribusi dan signifikansi, suara azan dari menara mungilnya akan kalah dengan dengan dentum sound system dari Sasana Budaya Ganesha (Sabuga).

Kontribusi dan signifikansi, adalah milik sebuah masterpiece, sebuah adikarya. Dihasilkan di sebuah sanggar seni intelektual. Dirancang oleh kader-kader yang empatik, progresif dan atraktif, dan diniatkan untuk tegaknya sebuah peradaban. Sebuah adikarya bukanlah produk dari industri massal. Kalau toh pada akhirnya ia diduplikasi secara massif di sana-sini, itu adalah buah kontribusi dan signifikansinya belaka.

Menikah dengan siapa ?
Yang pasti dengan masa depan, bukan dengan masa lalu. Karena masa depan keummatan dan keindonesiaan memberikan begitu banyak penawaran. Ummat telah sampai pada daur tajdid seratus tahunan, dan Salman dapat meminang masa depan untuk menjadi mujaddid. Begitu banyak yang dapat dipilih. Ada tema dakwah yang mulai kurang diminati kaum muda, karena kurang heroik dan berdarah-darah. Ada tema konservasi alam, dan itu adalah tema kekhalifahan sejati. Ada tema penegakan keislaman, ketika banyak orang lebih tertarik pada penegakan syari’ah. Salman tinggal memilih dan meminang.

Hingar-bingar politik juga membutuhkan fatwa dari Salman, agar tak ada lagi korban kaum muda berjatuhan, terperangkap dalam fatamorgana kekuasaan yang membohongi mereka dengan janji palsu,”Inilah jalan kekhalifahan itu”. Pendidikan juga membutuhkan pinangan dari Salman, agar mereka dapat belajar dari Luqmanul Hakim tentang prinsip pendidikan efektif. Dunia industri pun menantikan lamaran Salman, agar mereka mengerti bagaimana sistem dan kebijakan dapat dipadukan, sebagaimana AlKitab dan AlHikmah disatukan.

Atau, Salman menikahi semuanya saja ? Tak mungkin ! Kecuali jika Salman tak kunjung mengenali jatidirinya dan gagal merumuskan visinya. Salman perlu segera menetapkan visinya dan menemukan jodohnya, agar segera melahirkan Salman Muda. Sebagai sebuah gerakan, Salman perlu menetapkan orientasi dan minhajnya. Sedangkan sebagai sebuah masjid, Salman wajib memfasiltasi segala hajat ummat dan jama’ahnya, tanpa perlu terjebak pada segmentasi dan positioning yang tak perlu.

Selamat berketurunan…
original source from : http://imajinasirinoferdian.tumblr.com/post/45741560042

No comments:

Post a Comment