(Oleh:
Pak Adriano Rusfi)
Orang boleh saja
bergunjing tentang kemundurannya. Tapi saya tak pernah hilang kagum pada masjid
yang satu ini. Masa lalunya terlalu gemilang untuk tak meninggalkan sinar
hingga hari ini. Bak seorang perempuan jelita berusia jelang setengah abad,
gurat-gurat kecantikan masa lalunya masih saja tersisa untuk dinikmati hingga
hari ini. Lalu, bisakah ia kembali jelita seperti tiga puluh – empat puluh
tahun lalu ?
Tentu saja tak
mungkin, karena waktu tak dapat diputar mundur. Bahkan, berpikir untuk
mengembalikannya ke kejelitaan masa lalu, adalah malapetaka sendiri bagi masjid
ini. Ia menjadi gagal mengulangi kejayaannya, karena terpenjara oleh masa lalu,
masa lalu yang tak dapat diulang, masa lalu yang seluruh variabelnya tak dapat
dihadirkan pada hari ini. Karena Bang Imad tak dapat dikloning, dan Kang Sadali
tak dilahirkan untuk hari ini.
Tapi bukankah Salman
bisa melahirkan ? Menurunkan anak dan cucu yang sama cantiknya, bahkan
lebih cantik dari dirinya ? Anak cucu yang dilahirkan dan dididik untuk
hari ini dan masa depan, bukan untuk masa lalu. Ya, Salman harus berketurunan,
bukan berpikir untuk kembali muda. Dan untuk itu Salman harus segera
menikah !
Menikahlah segera
untuk berketurunan. Karena Salman mustahil berkelamin ganda, dan Salman tak
mungkin menghamili dirinya sendiri. Kaderisasi adalah hasil perkawinan, bukan
hasil kloning. Kaderisasi adalah buah kawin silang DNA Salman yang terkenal
unggul itu dengan DNA ITB hari ini, dengan DNA Bandung hari ini, dengan DNA
realitas keindonesiaan hari ini dan dengan DNA keummatan hari ini. Pernikahan
tak akan membuat Salman kehilangan jati diri, karena DNA Salman kekal, unggul
dan dominan.
Menikahlah hari ini
atau Salman akan keburu menopause, karena sebentar lagi ia akan berusia
setengah abad. Masih ada tersisa sedikit kesempatan untuk melahirkan Salman
muda, anak jaman terbaik yang prestasinya dapat dibandingkan dengan tantangan
jamannya pula, bukan dibandingkan dengan ibunya. Karena definisi kejelitaan
telah berubah antara dulu dan kini.
Membaca DNA
Salman ?
Salman tinggal
memilih dan meminang jodoh yang paling cocok dengan DNA miliknya. Cocok tak
identik dengan sama, karena cocok dapat terjadi karena kesamaan (similarity),
kedekatan (proximity), bahkan pertentangan (contrast). Yang masalah adalah jika
Salman bahkan tak mengenal DNA dan jatidirinya sendiri. Tersamar antara
jatidiri dengan kosmetika, antara substansi dengan performa, antara hakekat
dengan syi’ar.
Seharusnya Salman
tak galau dengan jatidirinya. Fakta telah banyak bercerita bahwa jatidiri
Salman bukanlah popularitas dan ketenaran, karena salman bukan Sri Panggung,
Salman bukan selebriti atau pesohor. Sebenarnya Salman hingga hari ini masih
tetap tenar dan populer. Setidaknya para aktivis dakwah dari Sabang hingga
Merauke masih melafalkan namanya dengan bangga. Toh ummat tetap tak puas dan
berkata,”Itu bukan Salman !”.
Jatidiri Salman juga
bukan terletak pada keramaian dan kemeriahan, karena hingga hari inipun Salman
tetap ramai dan meriah. Bukankah tiap sudut Salman hari ini tetap riuh
rendah ? Lihatlah masjidnya, gedung kayunya, papan informasinya, gedung
serba gunanya, taman Ganeshanya, Rumah Amalnya atau Lembaga Muslimahnya, tetap
hingar-bingar. Tapi ummat tetap saja menggerutu,”Bukan itu yang ku mau !”.
Jatidiri Salman
ternyata juga bukan terdapat pada keterbukaannya. Sampai hari ini Salman masih
saja seterbuka dulu. Kaum puritan hingga hedonis hadir di Salman. Fundamentalis
atau liberal diterima di Salman. Nasyid hingga musik cadas manggung di Salman. Cadar
hingga rok mini shalat di Salman. Namun ummat masih saja belum puas,”Bukan itu
maksudku !”.
Yang ummat baca pada
DNA dan jatidiri Salman adalah kontribusi dan signifikansi. Bahwa Salman ada
jika dia berguna dan bermakna ! Ini adalah dua hal yang tak dapat
dipisahkan. Sekadar berguna namun tak signifikan maka Salman tak ada.
Signifikan namun tak kontributif maka Salman menjadi percuma. Salman
ditakdirkan memang bukan untuk menjadi sekadarnya dan biasa-biasa saja.
Salman jelas
dibesarkan oleh kontribusi dan signifikansi. Latihan Mujahid Dakwah (LMD)
menjadi legenda karena kontribusi dan signifikansinya bagi militansi yang
dibutuhkan saat itu. Mentoring Karisma menjadi benchmark seluruh remaja masjid
karena kontribusi dan signifikansinya bagi pendidikan kaum remaja. Penerbit
Pustaka menebar pesona karena kontribusi dan signifikansinya dalam menawarkan
wawasan gerakan dakwah yang mendunia.
LMD, Mentoring dan
Pustaka adalah masa lalu, bukan DNA, bukan jatidiri Salman. Menghidupkan
kembali ketiganya tak akan banyak berarti, kecuali sekadar bernostalgia. Karena
yang menjadi Jatidiri dan DNAnya adalah kontribusi dan signifikansi, sedangkan
ketiganya hanyalah buah dan produk dari kontribusi dan signifikansi masa lalu.
Tanpa kontribusi dan
signifikansi, Salman niscaya terkubur. Karena arsitektur masjidnya biasa-biasa
saja, tak gemerlap seperti Masjid Kubah Emas Dian AlMahri. Secara geografis ia
akan terinjak oleh pamor kampus ITB, oleh Factory Outlets yang berjejer sepanjang
Dago, atau oleh hingar bingarnya Kebon Binatang Bandung. Tanpa kontribusi dan
signifikansi, suara azan dari menara mungilnya akan kalah dengan dengan dentum
sound system dari Sasana Budaya Ganesha (Sabuga).
Kontribusi dan
signifikansi, adalah milik sebuah masterpiece, sebuah adikarya. Dihasilkan di
sebuah sanggar seni intelektual. Dirancang oleh kader-kader yang empatik,
progresif dan atraktif, dan diniatkan untuk tegaknya sebuah peradaban. Sebuah
adikarya bukanlah produk dari industri massal. Kalau toh pada akhirnya ia
diduplikasi secara massif di sana-sini, itu adalah buah kontribusi dan
signifikansinya belaka.
Menikah dengan
siapa ?
Yang pasti dengan
masa depan, bukan dengan masa lalu. Karena masa depan keummatan dan
keindonesiaan memberikan begitu banyak penawaran. Ummat telah sampai pada daur
tajdid seratus tahunan, dan Salman dapat meminang masa depan untuk menjadi
mujaddid. Begitu banyak yang dapat dipilih. Ada tema dakwah yang mulai kurang
diminati kaum muda, karena kurang heroik dan berdarah-darah. Ada tema
konservasi alam, dan itu adalah tema kekhalifahan sejati. Ada tema penegakan
keislaman, ketika banyak orang lebih tertarik pada penegakan syari’ah. Salman
tinggal memilih dan meminang.
Hingar-bingar
politik juga membutuhkan fatwa dari Salman, agar tak ada lagi korban kaum muda
berjatuhan, terperangkap dalam fatamorgana kekuasaan yang membohongi mereka
dengan janji palsu,”Inilah jalan kekhalifahan itu”. Pendidikan juga membutuhkan
pinangan dari Salman, agar mereka dapat belajar dari Luqmanul Hakim tentang
prinsip pendidikan efektif. Dunia industri pun menantikan lamaran Salman, agar
mereka mengerti bagaimana sistem dan kebijakan dapat dipadukan, sebagaimana
AlKitab dan AlHikmah disatukan.
Atau, Salman
menikahi semuanya saja ? Tak mungkin ! Kecuali jika Salman tak
kunjung mengenali jatidirinya dan gagal merumuskan visinya. Salman perlu segera
menetapkan visinya dan menemukan jodohnya, agar segera melahirkan Salman Muda.
Sebagai sebuah gerakan, Salman perlu menetapkan orientasi dan minhajnya.
Sedangkan sebagai sebuah masjid, Salman wajib memfasiltasi segala hajat ummat
dan jama’ahnya, tanpa perlu terjebak pada segmentasi dan positioning yang tak
perlu.
Selamat
berketurunan…
original source from : http://imajinasirinoferdian.tumblr.com/post/45741560042