Sayapun ketika mengungkapkan pikiran saya tentang ini kepada sahabat saya (sebut saja elisa), ia mengungkapkan bahwa ia takut pada saya (loh?). Tenang sob,saya juga takut kok, makanya lagi nyari jawaban . Berikut salah satu kutipan menarik yang saya ketik ulang dari buku Aku beriman maka Aku bertanya (2006), Dr. Jeffrey Lang. Di baca habis ya.. Maaf agak panjang..
“Komentar 3 (dari seorang muslim amerika yang duduk di bangku SMA. Kebimbangan dan kebingungannya –terutama akibat pertentangan antara kepercayaan-kepercayaan “magis” kedua orang tuanya dan penalaran kritis yang ditekankan disekolahnya—lazim dialami oleh generasinya)
Mungkin anda masih ingat, aku sebelumnya pernah mengirimi anda surel tentang masalah-masalah yang kuhadapi menyangkut agamaku. Izinkan aku lebih jauh menjelaskan kehidupanku.
Kedua orangtuaku berpandangan konservatif, tetapi pada saat yang sama juga liberal. Maksudnya, mereka berpegang amat teguh pada nilai-nilai tradisional, tetapi juga sedikit lebih toleran ketimbang para orangtua muslim lainnya. Sehingga selama ini aku merasa memperoleh sikap keberagaman yang sangat baik. Aku selalu hidup religius, tetapi moderat. Artinya aku sering pergi ke mesjid, meski tak setiap hari; aku tak terlalu sering menghadiri halaqah (kelompok-kelompok pengajian), tetapi aku tak merasa enggan dan sesekali menghadirinya. Aku merasa sangat percaya diri. Semua ini terus berlanjut sampaiaku masuk SMA, kendati aku satu-satunya siswa muslim di SMA katolik khusus pria tempat aku dibombardir dengan doktrin-doktrin, kepercayaan-kepercayaan, dan nalar katolik. Aku tak pernah sekalipun mempertanyakan imanku, dan senyatanya aku malah mendapatkan banyak pelajaran dari diskusi-diskusi di kelas. Diskusi-diskusi ini sering kali justru memperkuat imanku.
Lalu pada musim panas antara tahun kedua di college dan tahun pertama di universitas, aku mempunyai banyak waktu luang, yang kemudian kuhabiskan di mesjid untuk mengikuti kajian-kajian Al-Qur’an dan kursus bahasa Arab. Aku berada di mesjid saban hari sejak magrib sampai isya untuk melakukan aktivitas tertentu. Aku sangat menikmati masa-masa ini dan imanku semakin kuat. Tetapi pada saat yang sama aku khawatir cara pikir keagamaanku menjadi lebih tertutup. Aku merasa seperti telah menemukan agama yang benar dan harus menamengi pikiranku dari pandangan-pandangan yang bersebrangan dengan pandanganku sendiri, karena mereka hanya akan menggerogoti imanku. Berbekal sikap antagonistik ini, aku mengambil mata kuliah filsafat, yang sayangnya kemudian justru benar-benar mengacaukan pikiranku.
Setelah musim panas yang sarat dengan kesalahan itu berlalu, cara pandangku terhadap islam menjadi lebih teoretis dan kurang praktis. Misalnya sekarang aku berusaha menemukan makna yang lebih dalam ketika shalat. Dengan cara ini,kupikiraku akan semakin dekat dengan Allah, tetapi ternyata malah terjatuh ke jurang yang amat dalam. Hal ini terjadi karena aku melupakan arti kebebasan berpikir dan diskusi yang terbuka. Cara pikirku menjadi lebih tertutup. Maka ketika mengambil mata kuliah filsafat dan imanku dipertanyakan, aku tak menanggapinya sebagaimana mestinya –tak menggunakan AKAL untuk mendukung keyakinanku. Alih-alih aku malah berusaha menampik pertanyaan-pertanyaan itu. Sikap ini membuatku semakin kehilangan iman. Aku ingin mengimani Allah, tetapi tak dapat menjustifikasikan imanku ini karena imanku menjadi jauh lebih mistis daripada rasional. Itulah maksudku.
Situasi ini berlangsung selama dua tahun. Kadang merasa lebih baik kadang lebih buruk, aku tak pernah beranjak dari keadaan ini. Sejak musim panas yang lalu, aku coba menggunakan AKAL untuk menghalau keragu-raguanku, tetapi tak berhasil. Aku sungguh tak bisa melupakan ketenangan yang dulu kurasakan sekedar dengan percaya kepada-Nya. Kini kapan saja coba menalar, aku merasa seperti harus menyelesaikan semua ini sekarang juga, sebab bisa saja aku besok mati dan masuk neraka karena meragukan keberadaanNya. Cara ini tak membuatku berhasil menyeesaikan masalah, lantara seolah-olah aku membatasi pemahamanku. Sampai saat ini, aku bisa memahami argumen-argumen tentang keberadaan Allah dan kebenaran Islam, tetapi tetap tak bisa, sekeras apapun usahaku, menerjemahkannya jadi iman yang kuat. Aku pernah merasakan ketenangan selama beberapa minggu, tetapi cepat atau lambat aku akan terlempar ke dalam keraguan lagi dan keraguan-keraguan ini telah menghancurkan hidupku.
Seperti anda ketahui, aku masih tampak sangat religius dan yakin bahwa imanku benar, sehingga orang lain memujiku. Dalam keadaan ini, aku merasa harus mempunyai iman yang kukuh karena orang lain menganggap demikian, tetapi aku tak pernah benar-benar memiliki iman yang kukuh. Aku tahu bahwa Allah pasti ada, dan bahwa Al-Qur’an benar, tetapi setiap kali aku membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan hal-hal gaib, hatiku menjadi enggan untuk beriman. Dalam kondisi ini aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku telah membaca surah-surah yang katanya melindungi kita dari setan, atau melakukan shalat nafilah (sunnah), tetapi ketika sedang mengerjakannya aku tak sungguh-sungguh memercayainya dan hasilnya pun nihil. Aku mungkin percaya, tpi kepercayaanku tak sepenuh hati; kepercayaanku goyah. Imanku goyah, celakanya tak sekedar goyah seperti yang dialami setiap orang; ini sedikit lebih kompleks. Aku senantiasa berada di batas tepi Islam –kadang didalamnya dan kadang diluarnya. Ini jalan hidup yangsungguh sukar. Mungkin setelah masuk islam anda bisa memahami kesukaranku ini. Aku tak mengerti mengapa ketika membaca ayat-ayat al-quran tentang malaikat, jin, akhirat, atau nabi isa, aku merasa enggan untuk meyakin ayat-ayat tersebut. Apakah ini karena cara pikir yang salah atau karena setan menguasaiku? Atau ini sekedar khayalanku?
30 oktober 2010
End 1:21
Masih banyak hal menarik lainnya.
Itulah keistimewaan manusia, AKAL. Yang senantiasa berpikir dan berusaha memahami. Yang harus digarisbawahi, ada hal-hal yang tidak dapat manusia jangkau dengan akalnya.
Wallahu’alam bisshawab..
No comments:
Post a Comment