Langkah kakinya berat, pikiran gadis itu melayang, matanya nanar menatap uang di dompetnya yang tinggal selembar. Wajah pangeran antasari dalam uang 2000 rupiah itu hanya dapat menatapnya datar, tentu tak bisa menggandakan diri seperti harapannya.
Baru akhir-akhir ini
rasanya ia merasakan kesulitan
finansial. Bukan, bukan, orangtua gadis itu tidak tiba-tiba jatuh miskin.
Keluargapun bukan kaya raya, tidak bisa juga dibilang miskin, biasa saja.
Walaupun orangtuanya sudah pensiun, alhamdulillah keluarga selalu berkecukupan.
Sang gadis pun hampir selalu bisa mengatur keuangannya dalam kesempitan. Kali
ini lain, mungkin memang sedang banyak pengeluaran, tugas akhir pendidikannya
kini juga butuh biaya, dan ternyata orangtua di rumahnya juga emmang sedang
sulit biaya.
Hidup dalam zona
nyaman, Rahma, panggilan akrabnya, merasa tidak ada yang perlu diperjuangkan.
Bisa makan sehari tiga kali, kadang berlebihan bisa buat jajan atau membeli
buku untuk hobi baca-tulisnya. Selain dari orangtua, rahma juga bekerja sebagai
pengajar privat, lumayan untuk tambahan. Amal sedekahnyapun tak ada yang
istimewa, ia tak pernah secara sengaja merencanakan amalan yang satu ini.
Mendadak rahma rajin
sekali berkunjung ke mesin ATM. Saldonya tetap tak berubah.
Harapannya hanya
satu, uang beasiswa segera turun. Haha! Dari 8 semester perkuliahan, ini kali
kedua ia mengajukan beasiswa dan dapat. Tak seberapa, tapi saat ini menjadi hal
yang paling ditunggu-tunggu karena ia benar-benar tak punya uang.
****
Dalam perjalanannya,
lamunan Rahma dibuyarkan, seketika
pengamen cilik menghampirinya.
"Eh,
teteh!"ujarnya. Rahma mengenalinya, Erna namanya. S enyum mengembang
dengan mata kecilnya yang berbinar. Pengamen cilik itu sering berganti-ganti
profesi. Kadang mengamen, kadang berjualan keripik, kadang berjualan es atau
kadang hanya sekedar bermain disekitaran taman.
"Eh erna, lagi
apa disini?", tanya Rahma penasaran
"ini ingin beli
batu batere, teh! Buat mobil-mobilan adik!"
Rahma terdiam, ingat
uangnya yang kini sangat minim. Membayangkan bila sisa uangnya harus dibelikan
baterai, mungkin setelah itu hanya akan punya 3 koin seratusan.
"Yaudah sini
sama teteh aja ya, si ade mana?"
"Adek lagi di
taman. Makasih ya teh!"
Cess.. Ada kesejukan
di dadanya. Lama nian hatinya tak merasa begini. Memberi di saat sulit memang
sangat sulit, namun janji Allah tak pernah salah. Ketenangan bathin jadi
kekayaan tersendiri yang tak dapat dibayar
dengan apapun.
****
Ada yang salah
ketika ia berharap rezeki datang dari beasiswa. Selama ini ia tak pernah
benar-benar meminta pada Tuhan. Selama ini, rezeki yang datang padanya
semata-mata kebaikan Tuhan. Ketika ia tak pernah meminta, sangat mungkin ia jadi tak pernah bersyukur atas apa yang dimilikinya.
Walau tuhan tak pernah pelit atau lupa, Tuhan selalu tahu bagaimana cara
mengingatkan hambaNya.
Rezeki apapun datang
atas kehendak-Nya. Rahma memikirkan ulang pada apakah ia menggantungkan
harapannya, apakah pada pemberi beasiswa ? Bukankah seharusnya ia hanya
berharap pada pemilik langit bumi dan seisinya yang Maha Kaya dan Maha Pemurah
itu?
Ingat dalam setiap
rezeki ada hak orang lain yang harus ditunaikan. Bukan hanya sekedar untuk
menolong orang, tapi karena Tuhan yang menyuruhmu berbuat baik seperti itu.
Kini rahma tak punya
uang sepeser pun, namun langkahnya kini semakin ringan :)
Hajah Sofyamarwa
Rabu, 8 Mei 2013
Rabu, 8 Mei 2013
___
Based on true story.
Based on true story.
Lama banget ga buat
dan baca cerpen, sampai lupa gimana seharusnya. hehe
No comments:
Post a Comment