Sunday, May 26, 2013

Cerpen Dramatis Ironis : Mahasiswa dalam penantian beasiswa



Langkah kakinya berat, pikiran gadis itu melayang, matanya nanar menatap uang di dompetnya yang tinggal selembar. Wajah pangeran antasari dalam uang 2000 rupiah itu hanya dapat menatapnya datar, tentu tak bisa menggandakan diri seperti harapannya.

Baru akhir-akhir ini rasanya  ia merasakan kesulitan finansial. Bukan, bukan, orangtua gadis itu tidak tiba-tiba jatuh miskin. Keluargapun bukan kaya raya, tidak bisa juga dibilang miskin, biasa saja. Walaupun orangtuanya sudah pensiun, alhamdulillah keluarga selalu berkecukupan. Sang gadis pun hampir selalu bisa mengatur keuangannya dalam kesempitan. Kali ini lain, mungkin memang sedang banyak pengeluaran, tugas akhir pendidikannya kini juga butuh biaya, dan ternyata orangtua di rumahnya juga emmang sedang sulit biaya.

Hidup dalam zona nyaman, Rahma, panggilan akrabnya, merasa tidak ada yang perlu diperjuangkan. Bisa makan sehari tiga kali, kadang berlebihan bisa buat jajan atau membeli buku untuk hobi baca-tulisnya. Selain dari orangtua, rahma juga bekerja sebagai pengajar privat, lumayan untuk tambahan. Amal sedekahnyapun tak ada yang istimewa, ia tak pernah secara sengaja merencanakan amalan yang satu ini.

Mendadak rahma rajin sekali berkunjung ke mesin ATM. Saldonya tetap tak berubah.
Harapannya hanya satu, uang beasiswa segera turun. Haha! Dari 8 semester perkuliahan, ini kali kedua ia mengajukan beasiswa dan dapat. Tak seberapa, tapi saat ini menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu karena ia benar-benar tak punya uang.

****

Dalam perjalanannya, lamunan Rahma dibuyarkan, seketika  pengamen cilik menghampirinya.
"Eh, teteh!"ujarnya. Rahma mengenalinya, Erna namanya. S enyum mengembang dengan mata kecilnya yang berbinar. Pengamen cilik itu sering berganti-ganti profesi. Kadang mengamen, kadang berjualan keripik, kadang berjualan es atau kadang hanya sekedar bermain disekitaran taman.

"Eh erna, lagi apa disini?", tanya Rahma penasaran

"ini ingin beli batu batere, teh! Buat mobil-mobilan adik!"

Rahma terdiam, ingat uangnya yang kini sangat minim. Membayangkan bila sisa uangnya harus dibelikan baterai, mungkin setelah itu hanya akan punya 3 koin seratusan.
"Yaudah sini sama teteh aja ya, si ade mana?"

"Adek lagi di taman. Makasih ya teh!"

Cess.. Ada kesejukan di dadanya. Lama nian hatinya tak merasa begini. Memberi di saat sulit memang sangat sulit, namun janji Allah tak pernah salah. Ketenangan bathin jadi kekayaan tersendiri yang tak dapat dibayar  dengan apapun.

****

Ada yang salah ketika ia berharap rezeki datang dari beasiswa. Selama ini ia tak pernah benar-benar meminta pada Tuhan. Selama ini, rezeki yang datang padanya semata-mata kebaikan Tuhan. Ketika ia tak pernah meminta, sangat mungkin ia jadi tak pernah bersyukur atas apa yang dimilikinya. Walau tuhan tak pernah pelit atau lupa, Tuhan selalu tahu bagaimana cara mengingatkan hambaNya.

Rezeki apapun datang atas kehendak-Nya. Rahma memikirkan ulang pada apakah ia menggantungkan harapannya, apakah pada pemberi beasiswa ? Bukankah seharusnya ia hanya berharap pada pemilik langit bumi dan seisinya yang Maha Kaya dan Maha Pemurah itu?
Ingat dalam setiap rezeki ada hak orang lain yang harus ditunaikan. Bukan hanya sekedar untuk menolong orang, tapi karena Tuhan yang menyuruhmu berbuat baik seperti itu.

Kini rahma tak punya uang sepeser pun, namun langkahnya kini semakin ringan :)


Hajah Sofyamarwa
Rabu, 8 Mei 2013

 ___
Based on true story.
Lama banget ga buat dan baca cerpen, sampai lupa gimana seharusnya. hehe

No comments:

Post a Comment