Fenomena yang ada belakangan ini di jagat raya dunia maya, membuat saya memikirkan beberapa hal. Menjelang ramadhan begini, ingatan saya kembali melayang pada waktu saya mudik ke kampung halaman bapak di Wonosobo.
Dibandingkan Bandung, tak begitu banyak hal menarik dari kabupaten wonosobo ini, maka hal hal sederhana menjadi begitu disyukuri.
Sejak kecil mudik kemari, hanya ada beberapa hal yang benar benar menjadi ciri khas. Mie ongklok, tempe kemul, ikan bertumpuk tumpuk, dan suasana pedesaan yang menyejukkan.
Saya ingat, suatu pagi setelah Idul Fitri tahun 2014 silam saya berupaya melakukan syawalan, shaum sunnah yang dilaksanakan 6 hari selama bulan syawal. Sebelum subuh saya melakukan sahur seperti biasa, maka logikanya saya siap berpuasa.
Tapi pagi itu, bapak jalan-jalan pagi ke pemukiman warga dan membawa pulang bungkusan tempe kemul. Masih hangat, dengan aroma yang menggugah selerah! Terjadilah pergejolakan batin pertarungan antara nafsu kabita dan keinginan untuk meneruskan shaum syawalnya. Akhirnya saya batalkan shaum syawal saya hari itu, memakan gorengan tempe kemul itu, dan mengganti shaum sunnah nya di hari yang lain.Lucu juga kalau dipikir-pikir, saat itu usia saya sudah 22 tahun, sudah bukan anak-anak lagi. Kalah sama gorengan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh sekian pintu. Yang paling rendah dari iman adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan. Yang paling tinggi adalah kalimat laa ilaha illallah.” (HR. Muslim, no. 35 dan Tirmidzi, no. 2614)
Ah, iman itu bertingkat-tingkat, dan kita tak tahu ada di tingkat yang mana kita berada.
Bertambahnya usia seseorang bukan jaminan bertambah pulanya keimanan seseorang. Bang Aad dalam workshop Home Education beberapa hari lalu mengatakan bahwa, iman ini memang sesuatu yang unik.
Kini, ketika saya diamanahi seorang anak, saya jadi berpikir bagaimana cara saya memastikan bahwa anak saya kelak mrnjadi orang yang kokoh imannya. Kalau boleh jujur, mungkin tak banyak dari kita yang pernah diuji keimanannya, padahal kita sering menghadapi ujian ujian pelajaran yang sifatnya kognitif. Bagaimana orangtua mendidik keimanan pada anaknya?
Lanjut bang Aad, Keimanan itu fitrah setiap manusia, tidak diajarkan, tapi dirawat dan ditumbuhkan. Orangtua tidak menanam benihnya, karena Allah yang sudah menanamnya. Sebagai orangtua kita hanya perlu merawat fitrahnya, membesarkannya sesuai tuntunanNya.
Masalah yang muncul berkaitan dengan periode akhir jaman, salah satunya adalah iman yang sulit kokoh. Kalau saya boleh jujur, saat dulu saya harus menyampaikan ilmu tentang Allah, saya masih merasa kering, sebatas pengetahuan tanpa makna. Tapi sekarang terasa, bahwa yang terpenting adalah rasa dan makna kita masing-masing akan keberadaanNya, bahwa kita dibimbing dalam setiap aktivitas kita.
* * *
Dari Hanzholah Al-Usayyidiy -beliau adalah di antara juru tulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-, ia berkata, “Abu Bakr pernah menemuiku, lalu ia berkata padaku, “Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?” Aku menjawab, “Hanzhalah kini telah jadi munafik.” Abu Bakr berkata, “Subhanallah, apa yang engkau katakan?”
Aku menjawab, “Kami jika berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami teringat neraka dan surga sampai-sampai kami seperti melihatnya di hadapan kami. Namun ketika kami keluar dari majelis Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami bergaul dengan istri dan anak-anak kami, sibuk dengan berbagai urusan, kami pun jadi banyak lupa.” Abu Bakr pun menjawab, “Kami pun begitu.”
Kemudian aku dan Abu Bakr pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, jika kami berada di sisimu, kami akan selalu teringat pada neraka dan surga sampai-sampai seolah-olah surga dan neraka itu benar-benar nyata di depan kami. Namun jika kami meninggalkan majelismu, maka kami tersibukkan dengan istri, anak dan pekerjaan kami, sehingga kami pun banyak lupa.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,
“Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya kalian mau kontinu dalam beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada di sisiku dan kalian terus mengingat-ingatnya, maka niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidur dan di jalan kalian. Namun Hanzhalah, lakukanlah sesaat demi sesaat.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali. (HR. Muslim, no. 2750).
* * *
Pada intinya, keimanan bisa berubah-ubah levelnya, bisa naik bisa turun. Manusia mulia sekelas Abu Bakar ash shiddiq pun begitu, jadi tenang saja. Kita tak bisa menilai/menghakimi keimanan seseorang karena memang bukan keperluan kita. Asal kita terus mau perbaiki diri dan meningkatkan keimanan.
Lagi shaum tergoda sama gorengan ada di level mana ya ? Hehe.
8 April 2014
Rabu 24 Mei 2017
Hajah Sofyamarwa R.
#30dwc #30dwcjilid6 #30dwchajah #day7
Sumber kutipan hadits dari : https://rumaysho.com/13108-dalil-iman-itu-bertambah-dan-berkurang.html