Thursday, December 19, 2013

nostal-entrepreneur-ia

image source : rapgenius.com
Astaghfirullah, semoga ampunan selalu tercurahkan pada diri-diri kita ini.
Semoga kita diberikan nikmat untuk selalu mensyukuri setiap jengkal kehidupan kita

Ini kali kedua paling dramatis saya tidak bisa berangkat karena tidak punya ongkos. Ongkos yang hanya sekitar 15 ribu rupiah, yang terkadang jarang saya syukuri. Di luar sana saya yakin ini tidak ada apa-apanya. Barangkali saya harus belajar dari Tian, sang anak gawang dari Dieng yang harus bekerja 1 bulan penuh untuk mendapat upaha sekedar 75 ribu rupiah. Atau bahkan dari seorang janda muda yang sedang kelimpungan membiayai hidup keempat anaknya.

Uang. Saya hampir tak pernah membahasnya. Dulu saya jarang pernah merasa kesulitan uang. Saya sendiri bukan tipe orang yang banyak maunya beli ini itu. Ada uang lebih ya syukur bisa beli macem-macem, kalopun nggak juga, ya ngga diambil pusing.

Bicara uang, saya jadi inget sama kesenangan saya yang dulu, menghasilkan uang lewat jualan! Hihi. Tapi seiring berjalannya waktu, karena pilihan saya sendiri, mungkin saya yang mematikan sendiri api entrepreneur itu. Faktornya banyak, mungkin akademis yang padat, punya ketertarikan lain, kebutuhan yang sudah terpenuhi, dan munculnya pikiran "ngga enak ngambil untung dari orang lain". Pemikiran yang kurang pintar ya, haha.

NAPAK TILAS BELAJAR DAGANG
1. SMP : Bikin dan jualan nutrijell untuk danus Pagelaran Kelas
2. SMA : Jualan Kue basah (untungnya gede, jadi seneng hehe) untuk danus acara Rohis, jualan mukena
3. Kuliah : Jaman TPB Jualan gorengan buat LSS, al-hayaat, himpunan, angakatan; danusan pribadi kue basah, jual pulsa.
Semenjak itu saya belum pernah dagang lagi. Saya ingat saat itu entrepreneur lagi booming banget. Sempat ikut euphoria di awal-awal dengan ikut unit entrepreneur, seminar-seminar, ikut kompetisi ide bisnis. Namun, setelah itu saya jadi gak tertarik karena merasa semua orang beramai-ramai kesana, jadi mainstream (?) *alasannya apa banget -_-*

SAYA ITU GA BISA NYIPTAIN PRODUK SENDIRI, BISANYA NGEJUALIN BARANG ORANG
Subjudulnya ga nyantei dan kepanjangan. Hehe. Ini mindset yang pernah saya amini betul saat belajar berdagang.
1) saya kurang pede dengan produk sendiri,
2) masarin barang orang bikin seneng karena bikin orang seneng dan ngga ada beban,
3) ga mikirin keuntungan, ga itung-itungan, ga ngambil untung dari orang lain.
Dari situ kemudian saya berpikir bahwa mungkin saya lebih cocok jadi marketing, yang heboh-heboh masarin produk punya orang lain. Kebanyakan aktivitas yang saya jalani juga membuat saya ngga terlalu memikirkan keuntungan pribadi, saya hanya berpikir "bagaimana membuat hal ini menjadi sebegitu sangat menarik" *syiarthinking*

PUNYA BARANG DAGANGAN, PENGENNYA DIKASIIN ORANG AJA BUAT HADIAH
Yah, namanya juga belajar dagang ya, apalagi sekarang statusnya udah bukan mahasiswa, ingin mandiri dan bisa menghasilkan uang sendiri.
Ketika kepepet mendera, mengaktifkan berbagai saraf kreativitas dan membakar segala amunisi tekad *naon*, saya membuat pernak-pernik bros untuk dijual. Caca ica mulai diajakin belajar jualan (biar rugi yang penting belajar). Saya? Menyertakan bros itu pada berbagai hadiah yang saya berikan kepada teman. *gubrag, jualan macam apa itu? Akhirnya ga jadi jualan -_-*

* * * * *

Waktu kemudian menjadi saksi atas perubahan mindset saya. 
Sebagai manusia yang belajar dewasa dan mandiri, saya harus punya banyak uang untuk memperlancar amal-amal saya. Saya harus bisa terus beramal tanpa membebani orang tua lagi.
Saya muslim dan saya harus kaya.
Saya punya begitu banyak orang yang butuh dibantu kehidupannya.

Uang itu komponen pendukung yang vital, yang dapat membantu kita menjalankan tugas utama kita.
Wallahu'alam saya belum tau apa nantinya akan benar-benar ingin jadi pengusaha, atau menghasilkan uang dengan cara yang lain.

Bila tidak dengan harta, tidak pula dengan jiwa, maka dengan bekal apa bisa menebus syurga?
-Rifa Khairunnisa-

Hajah Sofyamarwa,
13 November 2013

No comments:

Post a Comment