image source : rapgenius.com |
Astaghfirullah,
semoga ampunan selalu tercurahkan pada diri-diri kita ini.
Semoga kita
diberikan nikmat untuk selalu mensyukuri setiap jengkal kehidupan kita
Ini kali kedua
paling dramatis saya tidak bisa berangkat karena tidak punya ongkos. Ongkos
yang hanya sekitar 15 ribu rupiah, yang terkadang jarang saya syukuri. Di luar
sana saya yakin ini tidak ada apa-apanya. Barangkali saya harus belajar dari
Tian, sang anak gawang dari Dieng yang harus bekerja 1 bulan penuh untuk
mendapat upaha sekedar 75 ribu rupiah. Atau bahkan dari seorang janda muda yang
sedang kelimpungan membiayai hidup keempat anaknya.
Uang. Saya hampir
tak pernah membahasnya. Dulu saya jarang pernah merasa kesulitan uang. Saya
sendiri bukan tipe orang yang banyak maunya beli ini itu. Ada uang lebih ya
syukur bisa beli macem-macem, kalopun nggak juga, ya ngga diambil pusing.
Bicara uang, saya
jadi inget sama kesenangan saya yang dulu, menghasilkan uang lewat jualan!
Hihi. Tapi seiring berjalannya waktu, karena pilihan saya sendiri, mungkin saya
yang mematikan sendiri api entrepreneur itu. Faktornya banyak, mungkin akademis
yang padat, punya ketertarikan lain, kebutuhan yang sudah terpenuhi, dan
munculnya pikiran "ngga enak ngambil untung dari orang lain".
Pemikiran yang kurang pintar ya, haha.
NAPAK
TILAS BELAJAR DAGANG
1. SMP : Bikin dan
jualan nutrijell untuk danus Pagelaran Kelas
2. SMA : Jualan Kue
basah (untungnya gede, jadi seneng hehe) untuk danus acara Rohis, jualan mukena
3. Kuliah : Jaman TPB
Jualan gorengan buat LSS, al-hayaat, himpunan, angakatan; danusan pribadi kue
basah, jual pulsa.
Semenjak itu saya
belum pernah dagang lagi. Saya ingat saat itu entrepreneur lagi booming banget.
Sempat ikut euphoria di awal-awal dengan ikut unit entrepreneur,
seminar-seminar, ikut kompetisi ide bisnis. Namun, setelah itu saya jadi gak
tertarik karena merasa semua orang beramai-ramai kesana, jadi mainstream (?)
*alasannya apa banget -_-*
SAYA
ITU GA BISA NYIPTAIN PRODUK SENDIRI, BISANYA NGEJUALIN BARANG ORANG
Subjudulnya ga
nyantei dan kepanjangan. Hehe. Ini mindset yang pernah saya amini betul saat
belajar berdagang.
1) saya kurang pede
dengan produk sendiri,
2) masarin barang
orang bikin seneng karena bikin orang seneng dan ngga ada beban,
3) ga mikirin
keuntungan, ga itung-itungan, ga ngambil untung dari orang lain.
Dari situ kemudian
saya berpikir bahwa mungkin saya lebih cocok jadi marketing, yang heboh-heboh
masarin produk punya orang lain. Kebanyakan aktivitas yang saya jalani juga
membuat saya ngga terlalu memikirkan keuntungan pribadi, saya hanya berpikir "bagaimana
membuat hal ini menjadi sebegitu sangat menarik" *syiarthinking*
PUNYA
BARANG DAGANGAN, PENGENNYA DIKASIIN ORANG AJA BUAT HADIAH
Yah, namanya juga
belajar dagang ya, apalagi sekarang statusnya udah bukan mahasiswa, ingin
mandiri dan bisa menghasilkan uang sendiri.
Ketika kepepet
mendera, mengaktifkan berbagai saraf kreativitas dan membakar segala amunisi
tekad *naon*, saya membuat pernak-pernik bros untuk dijual. Caca ica mulai
diajakin belajar jualan (biar rugi yang penting belajar). Saya? Menyertakan
bros itu pada berbagai hadiah yang saya berikan kepada teman. *gubrag, jualan
macam apa itu? Akhirnya ga jadi jualan -_-*
* * * * *
Waktu kemudian
menjadi saksi atas perubahan mindset saya.
Sebagai manusia yang
belajar dewasa dan mandiri, saya harus punya banyak uang untuk memperlancar
amal-amal saya. Saya harus bisa terus beramal tanpa membebani orang tua lagi.
Saya muslim dan saya
harus kaya.
Saya punya begitu
banyak orang yang butuh dibantu kehidupannya.
Uang itu komponen
pendukung yang vital, yang dapat membantu kita menjalankan tugas utama kita.
Wallahu'alam saya
belum tau apa nantinya akan benar-benar ingin jadi pengusaha, atau menghasilkan
uang dengan cara yang lain.
Bila
tidak dengan harta, tidak pula dengan jiwa, maka dengan bekal apa bisa menebus
syurga?
-Rifa
Khairunnisa-
Hajah Sofyamarwa,
13 November 2013
No comments:
Post a Comment